HomeKabar BintuniRefleksi Iman, Hak Asasi dan Lingkungan di HUT Pekabaran Injil di Tanah...

Refleksi Iman, Hak Asasi dan Lingkungan di HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua

Pulau Mansinam di 5 Februari 1855 tercatat sebagai sejarah besar bagi masyarakat Papua, dengan hadirnya misionaris yang menjadi tonggak hari Pekabaran Injil di Tanah Papua. Kabar yang membawa suka cita melalui Injil, berperan besar dalam kehidupan masyarakat Papua, baik di lini pendidikan, kesehatan maupun kesadaran sosial dan politik yang bersinggungan dengan adat dan budaya yang kental. Namun, tantangan muncul seiring perkembangan zaman: hak adat yang menjadi asasi Orang Asli Papua (OAP), kian tergerus oleh industri ekstraktif yang semakin memarginalkan ruang gerak masyarakat adat.

HAM: Merawat Martabat Adat Manusia Papua  

Ajaran Kristiani menekankan kasih, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama. Namun, kenyataannya, masyarakat Papua masih menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM, mulai dari perampasan tanah adat, diskriminasi, hingga kekerasan yang mengorbankan nyawa.  

Salah satu contoh nyata adalah konflik agraria yang terus terjadi di wilayah Papua akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi sumber daya alam. Pada tahun 2023, masyarakat adat Awyu dan Moi melawan ekspansi perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka. Sayangnya, suara mereka sering diabaikan, bahkan beberapa aktivis lingkungan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Ini bertentangan dengan ajaran Kristiani yang menekankan keadilan dan keberpihakan kepada kaum tertindas.  

Sejatinya, perayaan pekabaran Injil bisa menjadi panggilan bagi semua umat Kristiani untuk berdiri dan membela hak-hak masyarakat adat Papua. Kiranya bukan hanya OAP yang menjadi benteng pertahanan bagi hak mereka, namun seruan Gereja dan komunitas Kristiani perlu dilantangkan bagi Non-OAP yang hidup dan mencari nafkah di Tanah Papua.  

Lingkungan: Menjaga Ciptaan Tuhan

Sejak awal, misionaris di Papua tidak hanya mengajarkan iman, tetapi juga bagaimana hidup selaras dengan alam. Namun, saat ini, kerusakan lingkungan di Papua semakin mengkhawatirkan. Pembalakan liar, pertambangan, dan perkebunan monokultur terus menggerus hutan-hutan Papua, yang merupakan paru-paru dunia.  

Contoh konkret terjadi di Boven Digoel, di mana lebih dari 36.000 hektare hutan hujan primer terancam ditebang untuk perkebunan sawit. Masyarakat adat setempat kehilangan sumber makanan, air bersih, dan tempat berburu. Ironisnya, perusahaan yang melakukan eksploitasi ini sering kali mendapat izin dengan mengabaikan persetujuan masyarakat adat. Padahal, dalam Kejadian 2:15, Tuhan telah menitipkan bumi kepada manusia untuk “mengusahakan dan memeliharanya,” bukan untuk dieksploitasi secara rakus.  

Oleh karena itu, peringatan Pekabaran Injil harus menjadi momentum bagi umat Kristiani untuk lebih aktif dalam menjaga lingkungan. Gereja di Papua bisa mengambil peran dalam mendorong kebijakan yang lebih ramah lingkungan, memberikan edukasi kepada jemaat tentang pentingnya konservasi alam, serta mendukung perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.  

Pekabaran Injil yang Kontekstual

Merayakan HUT Pekabaran Injil bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi juga menghidupi nilai-nilai Injil dalam realitas Papua hari ini. Memperjuangkan HAM dan menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis, tetapi juga bagian dari panggilan iman. Gereja dan seluruh umat Kristiani di Papua harus menjadi suara kenabian yang membela martabat manusia dan kelestarian alam, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus.  

Semoga peringatan Pekabaran Injil kali ini menjadi momentum untuk merenungkan: apakah kita benar-benar menghidupi ajaran Injil dalam menjaga keadilan dan ciptaan Tuhan di Tanah Papua?

Redaksi Bicara Untuk Rakyat

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments