Pemerintah Indonesia sedang menggencarkan program vaksinasi massal untuk menggapai herd immunity, yang ditargetkan bisa selesai pada akhir tahun 2021.
Tidak main-main, Presiden RI, Joko Widodo menargetkan pada bulan Agustus 2021 ini, secara nasional, bisa menyuntikkan 2 juta per harinya.
Namun, di sisi lain, gelombang penolakan pun mulai bermunculan. Propaganda melalui media sosial dan jaringan whatsapp paling tidak sedikit mempengaruhi kebanyakan orang. Dunia selebritas dan influencer Indonesia yang anti terhadap vaksinasi menyumbang angka ini.
Sebenarnya munculnya penolakan terhadap vaksinasi bukan merupakan hal yang baru. Mereka ini kerap disebut dengan kaum Anti Vaxx, dan telah muncul sejak pertama kalinya vaksin ditemukan di dunia.
Misinformasi dan logical fallacy bertebaran kerap menjadi landasan konstruksi untuk membangun narasi yang menyesatkan. Alih-alih berdalih dengan pendapat ahli berdasar riset, mereka lebih suka bermain dengan logika menakutkan yang berasal dari opini pribadi.
Namun, ada yang berpendapat, seburuk apapun kilah mereka, kaum Anti Vaxx ini menolak vaksinasi, negara tidak boleh memaksa, karena vaksinasi atau tidak, adalah pilihan pribadi yang menjadi hak asasi manusia.
Vaksinasi Menurut Peraturan Perundangan
Jadi bagaimanakah posisi vaksinasi ini menurut peraturan perundangan Indonesia? Apakah kebijakan ini menjadi pilihan warga ataukah menjadi keharusan yang wajib ditaati?
Indonesia sejak awal tahun 2020 kemarin telah luluh lantak akibat pagebluk yang tak berkesudahan. Ketika angka persebaran mulai melandai, pertengahan tahun 2021 ini kembali dihantam oleh puncak gelombang kedua, dengan peningkatan kejangkitan yang naik dua kali lipat.
Namun, untungnya kondisi ini beriringan dengan vaksin yang sudah mulai didatangkan dalam jumlah yang banyak, serta kemudahan masyarakat dalam memperolah jatah vaksin secara gratis.
Mengingat angka kejangkitan yang terus meningkat, kembali Pemerintah Republik Indonesia menyatakan negara dalam kondisi kedaruratan. Kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat ini mengakibatkan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Ditilik dari kondisi kedaruratan ini, maka menurut pasal 15, (2), pemerintah berhak untuk mengambil tindakan pemberian vaksinasi atau profilaksi sebagai bagian dari langkah untuk mengatasi pandemi.
Landasan undang-undang kekarantinaan yang mewajibkan setiap orang untuk ikut serta dan mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan pada pasal 9 UU 6/2018 ini, merupakan kebijakan pemerintah yang mengintervensi langsung sifat dari vaksin covid-19 ini untuk menjadi sebuah kewajiban, bukan lagi sebuah hak, layaknya vaksinasi atau imunisasi standar yang dilakukan dalam masa pertumbuhan.
Sanksi terhadap masyarakat yang menolak untuk menerima vaksinasi covid-19 ini, diatur dalam pasa 93 UU 6/2018 dengan ancaman penjara selama satu tahun, atau denda sebesar Rp100 juta.
Selain itu, pada tingkatan daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta contohnya, telah mengeluarkan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanganan Covid-19, untuk mengatur warga pada skala daerah dengan sanksi yang tegas.
Pada Perda Nomor 2 ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tegas mengatur sanksi, khusus penolakan vaksinasi dalam pasal 30, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”
Kondisi khusus pandemi covid-19, mengakibatkan negara ini berstatus kedaruratan, yang notabene menghilangkan unsur “hak” pada vaksinasi covid-19. Hal ini tidak bisa diukur sebagai dilanggarnya hak asasi manusia, karena sebuah pandemi membutuhkan langkah yang terukur sebagai hak hidup orang banyak, sebagai batasan berakhirnya hak dari seorang antivaxer.