Indonesia adalah pemilik dari hutan mangrove terbesar kedua di Dunia dan terbesar se-ASEAN. Namun, kondisinya kini terbilang miris. Meskipun menyandang status negara dengan kawasan mangrove terbesar, terbukti bahwa kerusakan ekosistem mangrove terus bertambah setiap tahunnya.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan penyumbang terbesar ekosistem mangrove selama 34 tahun terakhir. Sedangkan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018, laju kerusakan hutan mangrove Indonesia mencapai 58 ribu hektare per tahun.
Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki angka laju kerusakan mangrove tercepat di dunia. Kerusakan tersebut mencakup alih fungsi lahan perkebunan sawit, perusakan kayu bakau untuk kayu arang, tambak, dan berubah menjadi perladangan ilegal masyarakat.
Sebagai contoh, dalam kurun waktu 1989-2018, pesisir dari Aceh Timur hingga ke Deli Serdang, Sumut, sudah kehilangan tutupan mangrove sebesar 59,6 persen. Kasus serupa terjadi di Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
Menariknya, kasus menyusutnya hutan mangrove di kawasan itu disebabkan oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi tambak perikanan. Dalam kurun waktu 22 tahun sejak 1988, luas mangrove yang tadinya 27.672 hektare menyusut menjadi 10.321 hektare.
Atas kasus tersebut, Menteri Kelautan Perikanan saat itu, yakni Edhy Prabowo, bersikap untuk melindungi mangrove dari budidaya tambak perikanan.
“Saya jamin ke depan tidak ada lagi hutan mangrove untuk tambak budidaya,” kata Menteri Edhy mengutip mongabay (28/06/2020).
Ketika Menteri dan Pemerintah Pusat Tidak Konsisten
Benar, bahwa KKP telah berjanji untuk menekan laju alih fungsi mangrove menjadi kawasan tambak perikanan. Kendati demikian, ada dua hal yang mengganjal. Pertama, menteri tersebut sudah tak lagi menjabat.
Kedua, meski KKP telah mengeluarkan larangan pemanfaatan lahan mangrove, hal ini masih berlawanan dengan kebijakan pemerintah.
Dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 75/2016, jelas terdapat larangan pemanfaatan lahan mangrove untuk tambak perikanan. Namun, hal ini berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Pemerintah berencana akan menggenjot ekspor udang 2020-2024 hingga 250 persen. Hal ini membuat lahan mangrove menjadi lahan potensial dalam kacamata bisnis.
Bayangkan, melalui kebijakan tersebut maka jika volume ekspor udang olahan pada 2018 sebesar 145.226 ton, maka hal itu akan meningkat pada 2024 menjadi 363.067 ton. Sedangkan udang untuk bahan baku ekspor akan naik dari 197.433 ton pada 2018, menjadi 578.579 ton pada 2024.
Perkara pelestarian alam akan semakin sulit ketika ekonomi masuk. Pasalnya, kondisi perekonomian Indonesia anjlok sejak pandemi mendera Nusantara. Kondisi ini semakin parah kala aturan mengenai multiusaha yang mendorong pemilik konsesi tak hanya mendapat nilai ekonomi dari menebang kayu.
Lantas, bagaimana nasib kawasan mangrove Indonesia?
Sumber:
Hafsyah, Siti Sadida. 2020. Mangrove: Antara Tambak Udang dan Kelestarian. Forestdigest edisi 28 Juli 2020.
Karokaro, Ayat S. 2020. Hutan Mangrove, Pelindung yang Terancam dan Terabaikan. Mongabay edisi 30 Juli 2020.
Wahyurini, Endang Tri. 2020. Mangrove, Garda Terdepan Jaga Pesisir. Mongabay edisi 2 Agustus 2020.