Mewabahnya Pandemi Covid-19 secara global, mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam kehidupan, termasuk juga Indonesia secara merata. Imbas dari stagnannya dunia perekonomian memang membawa sejumlah dampak negatif.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi selama awal pandemi hingga saat ini di Ibu kota khususnya, menyentuh angka jutaan. Pengusaha dengan kapital yang minim, dengan terpaksa harus mengangkat kain putih karena ongkos produksi yang tidak bisa ditutupi oleh lesunya pasar.
Ini merupakan fenomena yang hampir dianggap lazim di tengah pandemi, jika hal itu terjadi tidak berdasarkan suatu sentimen tertentu. Di sinilah permasalahan PHK itu menjadi abu-abu ketika terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh Sub Kontraktor LNG Tangguh, yaitu Chiyoda Saipem Triparta SAE (CSTS) dengan alasan Covid-19.
Hingga saat ini, CSTS sebagai Sub Kontraktor dari LNG Tangguh tidak meneruskan kontrak serta melakukan PHK secara sepihak sebanyak kurang lebih 225 pekerja. Yang ironisnya merupakan anak daerah Teluk Bintuni, baik Orang Asli Papua (OAP) maupun Nusantara.
Andreas Franklin Mecibaru, kerap dipanggil Endi, adalah salah seorang tenaga kerja dari Teluk Bintuni yang menjadi korban dari CSTS. Kasus pemutusan kontrak sepihak yang dialami Endi belakangan diketahui terjadi juga ke beberapa rekan kerjanya yang berasal dari Teluk Bintuni. Untuk itulah, sebagai aksi solidaritas, Endi kemudian mengumpulkan semua tenaga kerja yang di-lay off oleh CSTS, dan mengoordinasikan rekan-rekannya agar menjadi sebuah aksi untuk menuntut hak mereka sebagai tenaga kerja yang harus diutamakan oleh CSTS sebagai Sub Kontraktor LNG Tangguh.
Yang menjadi inti dari kemarahan rekan-rekan anak daerah yang di-PHK oleh CSTS adalah tidak adanya kejelasan alasan dari perumahan itu sendiri. Hingga awal bulan Juni, Endi dan rekan-rekannya dijanjikan untuk kembali ke situs LNG Tangguh untuk bisa bekerja kembali setelah dilakukannya rapid test.
Namun apa yang dijanjikan oleh CSTS sebagai Sub Kontraktor LNG, akhirnya menjadi sebuah isapan jempol belaka. Pemanggilan yang dinantikan oleh Endi dan rekan berubah menjadi pemberitahuan tidak diteruskannya pekerjaan yang dijanjikan.
“Saya waktu itu disuruh rapid test oleh pihak CSTS dan akan diisolasi selama 14 hari di Ambon sebelum dikirim kembali ke Tangguh melalui Babo. Setelah rapid test dijanjikan untuk menunggu kabar namun tidak pernah ada kabar apa-apa. Sampai tiba-tiba saya dihubungi melalui telepon kalau hubungan kerja berakhir dan kontrak tidak diperpanjang. Tanpa ada alasan apa-apa” ujar Endi.
Setelah bertanya ke rekan-rekan yang lain, semuanya mengalami hal yang sama seperti Endi. Dirumahkan tanpa ada penjelasan apa-apa, hanya dengan dalih covid-19. Ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan.
Endi mengatakan ternyata banyak karyawan yang kemudian balik ke LNG setelah diisolasi di Jakarta, Makassar dan Ambon langsung melalui bandar udara di Babo. Dan ironisnya mereka yang kembali bekerja di LNG merupakan tenaga kerja dari Luar Papua Barat dan Bintuni, yakni dari Jawa Barat yang mendominasi.
PHK LNG Merupakan Puncak Gunung Es dari Manajemen Perusahaan yang Diskriminatif
Perlakukan yang tidak adil ini diungkapkan Endi bukan hanya untuk kasus ini saja. Anak-anak Teluk Bintuni yang seharusnya diutamakan oleh LNG Tangguh pada kenyataannya selama ini menjadi minoritas di perusahaan tersebut.
Endi yang seharusnya melamar menjadi tenaga administrasi bagian office support di layanan katering LNG, ternyata dijadikan tenaga kebersihan tanpa adanya promosi jabatan. Hal ini terjadi ke hampir seluruh tenaga kerja yang diserap oleh LNG terutama tenaga kerja yang berasal dari Teluk Bintuni.
“Seperti misalnya anak-anak P2TIM (Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas) Teluk Bintuni, itu mereka kan sudah sertifikasi seperti rigger, scaffolder dan lain-lain, tapi nyatanya di LNG itu hanya dipekerjakan sebagai tukang gali-gali parit saja. Dan itu berlangsung sekian lama tanpa ada promosi,” imbuh Endi.
Apa yang dialami oleh Endi dan rekan-rekan merupakan wajah dari kebanyakan industri yang ada di Indonesia. Masyarakat lokal sebagai pekerja yang harus diutamakan kurang mendapatkan tempatnya, dengan berbagai alasan.
Teluk Bintuni telah memiliki pusat pelatihan dan pendidikan vokasi seperti P2TIM Teluk Bintuni yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi warganya. Namun perusahaan-perusahaan seperti CSTS dan LNG rupanya memilih untuk menutup mata terhadap keahlian dan kemampuan pemuda-pemuda lokal sebagai pemilik hak utama dari berdirinya industri di sebuah daerah.
Endi dan rekan telah melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Teluk Bintuni dan akan kembali melakukan audiensi dengan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Teluk Bintuni beserta Bupati Teluk Bintuni untuk mencari solusi atas permasalahan ini. LNG Tangguh harus bisa bertanggung jawab atas komitmennya untuk mempekerjakan tenaga lokal daripada harus mengutamakan tenaga kerja yang berasal dari luar Teluk Bintuni.