Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni dinilai terlalu memaksakan dugaan korupsi Pengadaan Angkutan Desa yang menggunakan anggaran Dana Alokasi Khusus tahun 2021. Kasus korupsi yang menjadikan salah satu kepala bidang di Dinas Perhubungan Kabupaten Teluk Bintuni, Andreas Asmorom sebagai tersangka ini, dinilai banyak kesalahan administrasi maupun penyalahgunaan kewenangan. Hal ini disampaikan oleh salah satu kuasa hukum dari Andreas, Yohanes Akwan, SH., saat selesai menjalani sidang pra peradilan di Pengadilan Negeri Manokwari, pada Jumat (14/04/2023).
“Kemarin kami menyampaikan kesimpulan atau konklusi atas temuan fakta persidangan selama sidang pra peradilan, dimana kami menggugat Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni karena banyak kesalahan dalam proses penetapan tersangka terhadap klien kami. Selama sidang, terkuak banyak sekali fakta, dan bahkan telah diakui sendiri oleh pihak kejaksaan, adanya maladministrasi dalam penetapan klien kami sebagai tersangka,” ujar Akwan dalam rilis persnya.
Akwan dalam keterangannya menyoroti kerugian negara taksiran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dipergunakan oleh pihak kejaksaan sebagai alat bukti untuk mentersangkakan kliennya. Menurutnya, sesuai dengan UU BPK Pasal 10 ayat (1) UU BPK: BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dan ini diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016.
“Salah satu unsur yang membuat kami mempra-peradilankan Kejaksaan Bintuni adalah unsur kerugian negara yang dipergunakan oleh mereka ketika menjadikan klien kami sebagai tersangka. Taksiran kerugian negara yang dipergunakan oleh kejaksaan adalah hasil dari penghitungan BPKP, yang mana muncul angka Rp386 juta. Padahal dalam persidangan, Inspektorat mengatakan tidak ada kerugian negara, yang ada cuma denda keterlambatan. Selain ini upaya mereka-reka saja, hitungan dari BPKP itu tidak bisa dipergunakan sebagai dasar untuk menghitung kerugian negara. Lembaga satu-satunya yang berhak menghitung kerugian negara itu cuma Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saja. Itu sudah ada SEMA Nomor 4 tahun 2016. yang menegaskan kalau hanya BPK saja yang bisa men-declare kerugian negara. Jadi lembaga ini jangan lompat-lompat pagar. Kami harap hakim bisa objektif menilai ini. Karena ini krusial, kalau Jaksa sebagai salah satu punggawa dalam menerapkan undang-undang saja bisa melakukan perbuatan di luar aturan yang berlaku, lah bagaimana kita bisa memberikan contoh kepada masyarakat? Bisa jadi preseden yang buruk,” tegas Akwan.
Akwan dalam akhir rilisnya mengungkap bahwa sesuai dengan temuan BPK dan Inspektorat, tidak ada kerugian negara dalam proyek pengadaan Angkutan Desa Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2021. BPK dalam rekomendasinya hanya memberikan denda keterlambatan kepada kontraktor pemenang proyek.
“Temuan BPK itu, kontraktor disuruh membayar denda keterlambatan sebesar Rp72.223.000, dan kontraktor pemenang sudah mengembalikan denda, tahap pertama Rp10 juta dan tahap kedua Rp17 juta, sisa belum di bayar sebesar Rp45.23.3000, dan sudah dibayarkan, sisa sekitar Rp45 juta. Ingat ya, kontraktor yang disuruh bayar denda keterlambatan. Klien kami, AA tidak ada sangkut pautnya. Ini kerugian negara sudah tidak ada lho. Terus di mana unsur korupsi dari klien kami? Apalagi sudah ditegaskan dari awal, tidak ada satu peserpun klien kami menerima uang dari kontraktor. Sila cek aliran dana,” pungkas Akwan.