Di tengahnya hiruk pikuk kontestasi politik Teluk Bintuni, Ir Petrus Kasihiw, MT sebagai calon bupati petahana sempat melakukan perbincangan santai di kediaman beliau, pada 10/11/2020. Tak hanya masalah pilkada yang sudah mulai memanas, namun tentang rencana pembangunan di Teluk Bintuni, terutama setelah ditetapkan menjadi kawasan industri khusus.
Di tengah ramainya pemberitaan nasional mengenai omnibus law atau UU Ciptaker, masalah konflik tanah adat pun mencuat dari berbagai daerah. Kekhawatiran masyarakat mengenai over eksploitasi, akan berdampak negatif bagi lingkungan, serta hak-hak masyarakat adat, demi industri.
Teluk Bintuni pun tak luput dari perhatian aktivis lingkungan. Dengan kandungan sumber daya alam yang begitu besar, Kabupaten yang terletak di kepala burung Papua Barat ini bisa menjadi target yang menggiurkan. Dari gas alam, petrokimia sampai batu bara, bahkan dikhawatirkan adanya konsesi perkebunan sawit yang bisa berdampak buruk bagi lingkungan.
Menurut Piet (panggilan akrab Ir Petrus Kasihiw), Teluk Bintuni memang merupakan daaerah yang sedang menggeliat, namun sebagai kepala daerah, Piet tidak ingin investasi maupun ekploitasi kekayaan alam dilakukan secara serampangan.
“Ya Teluk Bintuni memang punya potensi kekayaan alam yang besar, ada gas alam, petrokimia, batu bara juga. Tapi kita lihat dulu, apakah ekploitasi itu diperlukan atau tidak? Sekarang kalau kita sudah bisa hidup dari gas dan petrokimia yang sudah dan sedang berjalan, untuk apa ada eksploitasi lain lagi? Nanti lah. Kita masih belum perlu. Toh kalau di kemudian hari ternyata daerah ini memang perlu, harus dilihat betul perizinannya. Amdal, izin lingkungan dan sebagainya, terutama juga pemenuhan hak-hak masyarakat adat,” ujar Piet.
Piet Menjawab Masalah Sawit
Sedangkan untuk konsesi lahan sawit, menurut Bupati ketiga Teluk Bintuni, sekaligus tokoh yang ikut memperjuangkan pemekaran Teluk Bintuni menjadi kabupaten ini, konsesi lahan sawit selama, masih dipandang bisa berdampak buruk bagi hutan mangrove di Teluk Bintuni.
“Saya masih belum setuju adanya konsesi sawit pada lahan baru di Teluk Bintuni. Karena apa? Sawit ini dia menyerap air terlalu banyak, akhirnya tanah di sekitar menjadi kering. Itu sudah ada lahan sawit yang sudah ada lama di sini, mereka harus bisa tanam kembali, jadi untuk konsesi lahan baru, saya masih belum melihat manfaatnya bagi daerah,” imbuh Piet.
Menurutnya, bisa ada konsesi lahan sawit baru, tapi itu di daerah yang sudah mati, yang sudah lagi tak bisa dimanfaatkan. “Kalau memang mau, cari lahan-lahan yang sudah tak lagi berpenghuni, yang memang sudah mati, yang memang sudah tidak ada manfaatnya, bisa buka lahan di situ, karena juga tak mengganggu ekosistem mangrove kita. Ya memang investasi itu perlu, tapi masuknya investasi itu juga harus memperhatikan dampak lingkungan dan juga adat di daerah. Contohnya saja di kota Bintuni Lama itu, saya sudah tidak lagi mengizinkan adanya HPH di sana. Sekarang pembangunan kita arahkan ke sini, arah pintu masuk Bintuni dari Manokwari. Karena apa? Sekarang lihat saja, kalau Bintuni Lama itu hujan sedikit mulai tergenang. Itu karena dari dulu kawasan di sana dibangun dengan serampangan. Dari sinilah kita mulai menata,” pungkas Piet.
Satu lagi yang menjadi concern Piet Kasihiw mengenai investasi dan industri di Teluk Bintuni, yakni hak masyarakat adat. Bagi Piet, sebagai pemegang ulayat, hak masyarakat adat ini sangat penting. Sebagai pemegang hak, maka masyarakat adat pemilik ulayat lah yang harus paling bisa merasakan manfaat dari adanya industri.
Inilah kenapa, selama 3,5 tahun kepemimpinan Piet dan Matret, mereka gencar memperjuangkan Dana Bagi Hasil, hingga keluar Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). “Hal ini selama bertahun-tahun menggantung. Kami melihat ini sebagai sebuah ketimpangan. Sekarang sudah menjadi Perdasus. Kita tinggal tunggu digodok menjadi Perda oleh badan legislatif kita. Kami ingin mengembalikan apa yang menjadi hak masyarakat, kepada masyarakat,” pungkas Piet.
Teluk Bintuni pada saat ini sedang membangun infrastruktur sebagai bagian dari menjadikan daerah ini Eco Industry 4.0. Semua akses jalan sedang dibuka agar koneksitas Teluk Bintuni dengan berbagai daerah bisa menjadi penyokong adanya industri yang sudah berjalan seperti LNG dan Petrokimia. Akses telekomunikasi pun digarap dengan serius oleh pemerintah Petrus Kasihiw dan Matret Kokop. Daerah ini sedang bangun dari tidur panjang. Sebagai daerah yang masih sangat muda, perkembangan pesat dalam 3,5 tahun kepemimpinan Piet-Matret cukup membuat takjub. Ini alasannya Ir Petrus Kasihiw bisa terpilih menjadi Bupati Paling Inovatif di Indonesia pada tahun 2020.