HomeKabar BintuniPeristiwa "Injak Kepala" Steven Yadohamang: Prasangka Berujung Penganiayaan

Peristiwa “Injak Kepala” Steven Yadohamang: Prasangka Berujung Penganiayaan

Image
Ilustrasi kejadian penganiayaan yang dilakukan oleh anggota TNI-AU terhadap Steven Yadohamang, di Merauke, Papua. Karya: Toni Malakian.

Kekerasan aparat terhadap Orang Papua kembali mendapatkan sorotan secara nasional. Kali ini, terjadi di Merauke, Papua, pada bulan Juni tahun 2020 lalu.

Penganiayaan yang baru viral di media sosial ini pun sontak mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Apalagi dilakukan oleh dua anggota TNI AU, terhadap seorang penyandang disabilitas bisu, yang bernama Steven Yadohamang, dengan cara menginjak kepalanya, setelah dilumpuhkan terlebih dahulu. Padahal, saat kejadian Steven tidak membawa senjata.

Grafik dari peristiwa “Injak Kepala” ini, sangat mirip dengan peristiwa yang menimpa George Floyd, di Powderhorn, Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, pada bulan Mei tahun 2020 yang lalu.

Kronologi 2 Anggota TNI AU Injak Kepala Tunawicara di Papua
Peristiwa penganiayaan oleh polisi AS terhadap George Floyd (atas) yang mirip dengan apa yang menimpa Steven Yadohamang (bawah).

Simpati masyarakat yang mengalir terhadap kematian George Floyd akhirnya memantik gerakan #BlackLivesMatter. Dimana gerakan ini, merupakan protes global terhadap kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang berkulit hitam di AS, yang seringkali berujung kematian.

Penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap George Floyd dan orang berkulit hitam lainnya di AS adalah perilaku yang dikonservasi sejak zaman perbudakan dan segregasi.

Penganiayaan Yang Lahir Dari Prasangka

Jika dahulu, orang kulit hitam dianggap sebagai warga kelas dua, maka paska segregasi hingga kini, mereka distereotipkan sebagai orang yang lekat dengan kekerasan dan kriminalitas.

Atas anggapan itulah, kenapa aparat kepolisian perlu berprasangka buruk, serta perlu menggunakan kekerasan lebih, bahkan menembak terlebih dahulu, walaupun mereka tak bersenjata.

Wolfgang, Stroebe dan Chester A. Insko, psikolog sosial menulis dalam jurnalnya pada tahun 1989, menggambarkan pola prasangka dan stereotip yang melahirkan perbuatan negatif, lahir dari tendensi sebuah kelompok atau ras yang cenderung menilai orang di luar kelompok mereka dengan nilai yang kurang. Hal ini yang kemudian dianggap sebagai pemicu lahirnya perbuatan-perbuatan seperti kekerasan dan diskriminasi, maupun gabungan itu semua.

Stereotip dan prasangka terhadap satu kelompok atau suku tertentu, bisa diasupi oleh berbagai faktor: Penilaian bias yang menggeneralisir berdasarkan kebiasaan beberapa orang, dari cerita mulut ke mulut, maupun dari apa yang dinarasikan oleh media.

Kemiripan kejadian penganiayaan yang dialami oleh George Floyd dan Steven Yadohamang, lahir dari prasangka yang sama. Penilaian yang bias, melahirkan kekerasan di luar batas kemanusiaan, dengan mengatasnamakan ketertiban umum dan penegakan hukum.

Perilaku ini terlihat di dalam video viral tersebut, dimana pada saat anggota TNI itu hendak memelintir tangan Steven di awal penganiayaannya, ia langsung berucap “kau mabuk” sebelum melakukan interaksi lebih jauh.

Stereotip terhadap orang Papua dan orang berkulit hitam di AS mungkin tidak lahir dari sejarah yang sama. Namun, anggapan bahwa orang Papua adalah masyarakat yang masih liar, keras kepala, pemabuk dan perusuh akhirnya melahirkan kekerasan maupun penganiaayaan seperti yang menimpa Steven, meskipun mereka tidak menunjukkan ancaman yang nyata.

Pernyataan-pernyataan tidak etis seperti yang dilontarkan oleh Menteri Sosial beberapa waktu yang lalu, maupun ungkapan-ungkapan rasis serta narasi dan isu media, ikut menambah tebalnya prasangka terhadap orang Papua.


Sumber jurnal: Wolfgang Stroebe and Chester A. Insko: ‘Stereotype, Prejudice, and Discrimination: Changing Conceptions in Theory and Research’ – 1989.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments