Teluk Bintuni, Papua Barat — Aktivitas pengeboran minyak oleh PT Petroenergy Utama Wiriagar (PUW) di wilayah adat Weriagar, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, tak hanya menimbulkan polemik soal lahan adat dan kompensasi. Lebih parah, operasi pengeboran tersebut diduga telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius, yang kini mulai dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar.
Pantauan terbaru yang diterima redaksi menunjukkan kondisi mencemaskan di sekitar lokasi sumur tua milik masyarakat adat. Air sungai yang biasanya jernih kini berubah warna menjadi hitam pekat. Saluran pembuangan diduga membawa limbah cair ke badan sungai tanpa pengolahan memadai. Tanaman di sekitar aliran air tampak layu, bahkan beberapa jenis tanaman pangan warga mati terkena genangan.
Tumpukan material penyerap ditumpahkan secara darurat di mulut pipa-pipa yang membuang cairan berwarna gelap ke lingkungan terbuka. Di sisi lain, tangki-tangki tua dan instalasi pengeboran tampak dibiarkan begitu saja tanpa pengamanan yang layak.
Menanggapi hal ini, Yohannes Akwan, S.H., MAP., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, mengecam keras tindakan PT PUW yang menurutnya telah merusak hak hidup sehat masyarakat adat.
“Ini bukan sekadar konflik tanah. Ini pelanggaran nyata terhadap hak lingkungan hidup masyarakat adat. Kami punya bukti pencemaran air, kerusakan vegetasi, dan tidak ada satupun bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan oleh PT PUW hingga saat ini,” tegas Yohannes Akwan kepada media, Kamis (12/6).
Lebih lanjut, Akwan menjelaskan bahwa kegiatan pengeboran yang dilakukan sejak 2010 dilakukan tanpa pemberitahuan atau persetujuan tertulis dari pemilik hak ulayat.
“Awalnya mereka mengaku hanya akan membersihkan lahan. Tapi setelah itu muncul rig pengeboran, ada penyedotan minyak dari sumur tua, dan sekarang air kami tercemar. Ini bentuk penipuan terhadap masyarakat adat,” tambahnya.
YLBH Sisar Matiti telah menerima sejumlah aduan dari warga Marga Bauw yang lahannya menjadi lokasi eksploitasi. Bahkan dalam somasi resmi yang dilayangkan pada Maret 2025 lalu, disebutkan bahwa PT PUW belum membayar kompensasi sewa lahan seluas lebih dari 74.000 meter persegi, meskipun telah menyedot puluhan ribu barel minyak dari tanah tersebut.
“Mereka bawa keluar 20.000 barel minyak mentah, dan warga hanya kebagian limbah. Di mana keadilan investasi itu?” tukas Akwan.
Desakan Pemerintah Bertindak
Yohannes Akwan mendesak agar Kementerian Investasi, SKK Migas, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera turun tangan menyelidiki kasus ini, menghentikan sementara semua aktivitas pengeboran PT PUW, serta mengevaluasi seluruh izin usaha yang diberikan di atas tanah adat Weriagar.
“Kami minta Bapak Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi jangan tutup mata. Ini bukan hanya soal investasi, tapi soal pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan ekologis,” ujarnya.
Ia juga menyatakan pihaknya tengah menyiapkan gugatan hukum dan pelaporan pidana terkait pencemaran lingkungan dan penyerobotan hak ulayat, sembari membuka ruang mediasi jika perusahaan menunjukkan itikad baik.