
Pengungkapan rencana penjualan kayu Non Police Line (NPL) jenis Merbau sebanyak 3.116 batang yang diduga berasal dari pengrusakan hutan atau pembalakan liar di Kampung Dago, Distrik Meyado, Kabupaten Teluk Bintuni pada 11 September 2023 lalu, yang menyeret tiga tersangka, yakni JNS, GK dan IZ diyakini merupakan upaya kriminalisasi, dengan melanggar hak masyarakat adat.
Hal ini diungkap oleh kuasa hukum ketiga tersangka tersebut, Yohanes Akwan, SH., melalui sambungan telepon pada Minggu (17/09/2023)
“Penetapan tersangka terhadap ketiga klien kami itu saya rasa sudah salah kaprah. Pertama, mereka bertiga melalui PT Putra Bintuni Sejuk, tidak melakukan pembalakan liar. Dalam hal ini, mereka membeli kayu tidur yang dikelola oleh masyarakat adat. Kami punya semua dokumentasi ketika masyarakat adat menyerahkan ke mereka. Tidak ada penebangan kayu. Dan kayu itu masih berada di dalam hutan yang masih dalam penguasaan masyarakat adat. Pembalakan liarnya di mana?” tanya Akwan mengungkap keheranannya.
Lanjut menurut Akwan, jika Polres Bintuni terus melanjutkan proses hukum terhadap ketiga tersangka ini, bisa jadi ada sentimen pihak kepolisian yang tidak menginginkan anak Papua menjadi tuan di negerinya sendiri.
“Kita jujur-jujuran saja, kalau investor dari luar datang, pengurusan izin untuk kayu dan lainnya bisa disambut dengan karpet merah. Selama ini kayu mati di Papua itu dikelola oleh korporasi-korporasi besar. Tapi ketika masyarakat adat yang mengelola hasil hutannya sendiri, mereka tidak bisa menikmati hasilnya. Yang mengelola juga dari perusahaan di Bintuni, anak-anak yang lahir di Bintuni. Ini kenapa? Padahal itu kayu, ya kayu-kayunya masyarakat sendiri. Kok jadi pembalakan liar? Tidak ada tebang-tebangan. Kayu tidur dalam hutan yang dikelola masyarakat, masak tidak boleh dijual? Dan pula itu sedang diurus izinnya oleh oknum Dinas Kehutanan Papua Barat. Kami akan serahkan semua dokumentasinya,” lanjut Akwan.

Dokumen yang dimaksud oleh Akwan adalah surat perizinan yang dijanjikan oleh salah satu orang Dinas Kehutanan Papua Barat, yang menjanjikan seluruh izin akan diuruskan di tingkat provinsi, agar pengelolaan kayu tersebut legal dan bersurat.
“Ada oknum orang Kehutanan Papua Barat yang bernama Dula Tamadi yang menjanjikan masyarakat pemilik kayu ini, untuk diuruskan semua perizinannya. Maka itu masyarakat berani menjual kepada ketiga tersangka ini. Semua menunggu proses pengelolaan dan izin angkut. Mana ada kayu akan diangkut sebelum ada izin. Ya Polres Bintuni harusnya periksa itu Dula Tamadi yang menjanjikan masyarakat, bahkan sampai Lembaga Masyarakat Adat 7 Suku, dan Majelis Rakyat Papua pun sudah mengizinkan ketiga tersangka untuk membeli kayu itu. Terus Polres mau lebih tinggi dari lembaga adat? Ini sentimen apa terhadap OAP? Macam tidak mau lihat kami maju kah?” pungkas Akwan.