Papua Barat Daya – Penyelenggara pemilu di Papua Barat Daya (PBD) dinilai tidak netral, sehingga menyebabkan urbanisasi pemilih yang berdampak pada hilangnya hak konstitusional pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, Abdul Faris Umlati (AFU) dan Petrus Kasihiw, yang merupakan Orang Asli Papua (OAP). Hal ini diungkapkan oleh Yohanes Akwan, SH., MAP., Tim Kuasa Hukum pasangan ARUS.
Menurut Yohanes, ketidaknetralan ini bermula sejak keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mencoret syarat keaslian AFU dan Petrus sebagai OAP. “Putusan MRP tersebut menjadi pukulan telak, tidak hanya bagi klien kami, tetapi juga bagi masyarakat pemilih ARUS. Banyak dari mereka mulai ragu untuk menggunakan hak pilihnya,” ujarnya saat diwawancarai, Senin (7/1).
Lebih lanjut, Yohanes menjelaskan bahwa rekomendasi Bawaslu yang ditindaklanjuti oleh KPU dengan mencoret nama Abdul Faris Umlati sebagai calon, tanpa menghentikan proses pemilu, semakin memperburuk situasi. “Keputusan tersebut telah menciptakan ketidakpastian di kalangan pendukung kami. Akibatnya, banyak simpatisan yang kehilangan kepercayaan dan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu,” tambahnya.
Dugaan Konspirasi dalam Penyelenggaraan Pemilu
Yohanes juga mengungkapkan dugaan adanya konspirasi di tingkat penyelenggara pemilu. Ia menyoroti keputusan nomor 105 yang mencoret AFU dari daftar calon, serta pemberhentian dan pengangkatan kembali komisioner KPU PBD oleh KPU RI yang dilakukan tanpa alasan dan latar belakang yang jelas.
“Langkah-langkah ini menunjukkan adanya upaya penjegalan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) untuk menggagalkan klien kami. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak lawan politik untuk membangun kampanye hitam, menyebarkan narasi agar masyarakat tidak memilih AFU dan Petrus karena dianggap sudah digugurkan oleh penyelenggara pemilu,” tegasnya.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Atas berbagai kejanggalan tersebut, Tim Kuasa Hukum ARUS telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. “Kami membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi sebagai upaya untuk menuntut keadilan.
Apa yang kami gugat adalah upaya lancung dari penyelenggara pemilu yang tidak hanya merugikan klien kami, tetapi juga melukai demokrasi di Papua Barat Daya,” tutup Yohanes.
Dengan dinamika ini, pasangan ARUS berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang adil dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Papua Barat Daya.