Keberadaan tambang raksasa atau mega proyek selalu meninggalkan lubang ironi yang cukup besar. Signifikansi kehadiran pertambangan pada suatu daerah, sejatinya ditakar dari kemanfaatan yang akan dirasakan oleh masyarakat yang terdampak langsung akan aktivitas ini.
Namun di sinilah yang menjadi ironi. Masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan tidak merasakan manfaat ekonomi meskipun perambahan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan membawa dampak kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Fenomena ini dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni, tempat LNG Tangguh bermuara dan mengeruk kekayaan berupa gas alam secara ugal-ugalan.
Beroperasi di atas lahan seluas 3.500 hektare, di Distrik Babo, Teluk Bintuni, Proyek Strategis Nasional senilai Rp72,45 triliun ini memproduksi sebanyak 11,4 juta ton per tahun. Namun, apa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terdampak? Selain kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal.
Melansir RMOL, masuknya Proyek LNG Tangguh pada tahun 2002, telah merambah kawasan hutan mangrove di Teluk Bintuni yang terlihat mengalami kerusakan parah, terutama di kawasan pesisir Tanah Merah yang mengalami kerusakan sangat parah.
Masyarakat Geram, LNG Tangguh Abai Dari Komitmen Awal
Masyarakat Teluk Bintuni yang terdampak langsung dari proyek LNG Tangguh merasa geram akan hadirnya industri ini, yang tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung bagi Tujuh Suku Bintuni yang notabene sebagai pemilik lahan.
Melalui YLBH Sisar Matiti, masyarakat mempertanyakan komitmen LNG Tangguh yang memberikan angin surga ketika pertama kali melakukan eksploitasi di Teluk Bintuni.
Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti berencana akan melakukan Class Action untuk merespon tuntutan masyarakat yang selama ini diabaikan oleh LNG Tangguh.
“perambahan yang dilakukan oleh LNG untuk beroperasi bukan hanya merusak mangrove Teluk Bintuni secara besar-besaran, nelayan dan masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian. Namun apa timbal balik yang diberikan oleh LNG kepada masyarakat? NOL BESAR. Komitmen mereka untuk mempekerjakan 70% orang lokal saja hingga saat ini tidak dilaksanakan” ungkap Akwan.
Akwan memaparkan ironi LNG Tangguh bukan hanya hitungan di atas kertas, namun bisa dilihat secara langsung oleh masyarakat Sumuri.
“coba kita datang ke Sumuri dan lihat di malam hari, bagaimana LNG Tangguh itu beroperasi dengan lampu menyala terang benderang, sementara masyarakat hidup menggunakan genset. Mereka beroperasi untuk kasih menyala listriknya orang-orang di Jawa, namun masyarakat sekitar masih harus hidup dalam kegelapan. Ini yang namanya keadilan? Mana komitmen mereka?” tanya Akwan.
LNG Tangguh; Janji di Atas Janji
Lanjut menurut Akwan, LNG Tangguh secara berkala mengadakan pertemuan tahunan majelis penasehat yang dibentuk oleh mereka sendiri. Namun, hasil dari pertemuan tersebut masih tidak tampak selama tiga tahun dilaksanakan.
“mereka membentuk sendiri majelis yang mengumpulkan keresahan serta tuntutan masyarakat terdampak. Tapi rekomendasi dari pertemuan yang diadakan selama tiga tahun itu apakah dilaksanakan? Masyarakat hanya diberikan janji demi janji, namun sampai sekarang, tidak ada realisasi. Masyarakat tidak bisa kenyang makan janji. Kami sudah geram, maka itulah kita akan gugat BP Tangguh,” tegas Akwan.
Akwan juga menyayangkan Dana Bagi Hasil Migas yang hingga kini tidak jelas penyaluran dan skemanya. “dari awal skema pembagian untuk daerah penghasil migas ini sudah tidak memberikan rasa keadilan. Yang dapat paling banyak kan pemerintah pusat. Terus daerah penghasil ini harus membagikan dengan provinsi, dan daerah sekitar. Itu saja belum dilaksanakan dengan transparan oleh LNG Tangguh. Diam-diam bawa keluar orang punya gas secara tidak transparan. Bawa keluar berapa dalam angka riil pun mana kita tahu?” Akwan mengungkapkan kekecewaannya.
Seharusnya LNG Tangguh hadir dan membawa kemanfaatan bagi masyarakat lokal dan daerah penghasil. LNG Tangguh bagi masyarakat tidak mempunyai akuntabilitas dalam hal pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
“pil pahit demi pil pahit ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Kami akan meminta LNG Tangguh untuk mempertanggungjawabkan ini di depan hukum. Jangan sampai masyarakat ini tidur di atas emas, tapi untuk makan mereka harus berjual pinang. Yang gemuk ya mereka-mereka di Jakarta,” pungkas Akwan.