HomeKabar BintuniKasus Dugaan Tipikor Puskesmas Amban Prematur dan Sarat Kriminalisasi Perempuan Papua

Kasus Dugaan Tipikor Puskesmas Amban Prematur dan Sarat Kriminalisasi Perempuan Papua

Manokwari – Advokat Yohanes Akwan, S.H., M.A.P., C.L.A. menilai penetapan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas Amban Tahun 2021 adalah langkah prematur dan sarat rekayasa hukum. Ia menegaskan, penyidik terkesan memaksakan proses hukum dan melakukan kriminalisasi terhadap perempuan Papua.

“Tugas Bendahara hanya membayar atas perintah Kepala Puskesmas dan berdasarkan kesepakatan bersama semua pihak. Kalau penyidik benar-benar menggunakan Pasal 55 KUHP, maka 29 orang yang ikut menerima dana BOK juga harus ditetapkan sebagai tersangka. Jangan hanya EB sebagai bendahara dan YK sebagai kepala puskesmas yang dikorbankan,” tegas Akwan, Sabtu (2/8/2025).

Menurut Akwan, kliennya dituduh korupsi, padahal tidak ada mens rea (niat jahat) sedikit pun dari EB maupun YK. “Semua uang BOK digunakan sesuai kesepakatan rapat resmi di puskesmas, tidak ada satu rupiah pun yang mereka nikmati untuk kepentingan pribadi. Semua dibayarkan kepada pemegang program dan biaya operasional puskesmas. Ini jelas bukan tindak pidana korupsi, melainkan kriminalisasi,” tegasnya.

Dana BOK Dibagi Sesuai Kesepakatan

Dari hasil rapat bersama pada 8 Agustus 2021, disepakati anggaran BOK sebesar Rp742 juta digunakan untuk mendanai program kesehatan. Dalam rapat itu, telah diputuskan Rp174 juta digunakan untuk biaya administrasi sekretariat dan Rp252 juta untuk program BOK yang disalurkan kepada 29 pemegang program.

“Anggaran Rp174 juta digunakan secara transparan untuk keperluan puskesmas. Sementara Rp252 juta telah diterima 29 pemegang program lengkap dengan bukti kwitansi, daftar hadir, dan dokumen pertanggungjawaban. Bahkan, hasil pemeriksaan Inspektorat Kabupaten tahun 2022 menyatakan tidak ada temuan penyalahgunaan anggaran,” jelas Akwan.

Penyitaan Uang Tanpa Prosedur

Akwan menyoroti tindakan penyidik Polresta Manokwari yang menyita uang Rp174 juta dari EB dan YK dengan cara yang janggal. Uang tersebut diserahkan kepada penyidik atas nama Aipda Abdul Muis pada 11 April 2025 (Rp50 juta), 19 Mei 2025 (Rp37,49 juta), serta tambahan dari YK pada 1 April 2025 (Rp40 juta) dan 19 Mei 2025 (Rp47,49 juta).

“Klien kami dibujuk untuk mengembalikan uang itu tanpa arahan resmi untuk menyetor melalui bank atau mekanisme negara yang sah. Anehnya, setoran itu malah dijadikan alat bukti untuk menjerat mereka, padahal uang itu bukan hasil korupsi,” tegas Akwan.

Kasus Dipaksakan, Alat Bukti Lemah

Yang lebih aneh, EB dan YK sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Maret 2025, namun berkas perkara baru dinyatakan lengkap (P21) pada 1 Agustus 2025.

“Ini menunjukkan penyidik kekurangan alat bukti. Kasus ini sengaja dipaksakan. Mens rea tidak pernah ada, seperti dalam kasus Tom Lembong yang sempat heboh. Kalau tidak ada niat jahat, tidak bisa disebut tindak pidana korupsi. Ini jelas kriminalisasi,” ungkap Akwan.

Dasar Hukum yang Ditekankan

Akwan mengingatkan, dalam hukum pidana, asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) berlaku mutlak. Ia menegaskan, tindakan EB dan YK hanyalah pelaksanaan tugas administrasi yang berdasarkan perintah atasan dan kesepakatan bersama, sehingga tidak memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor karena tidak ada niat untuk memperkaya diri sendiri.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal martabat perempuan Papua yang dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum. EB adalah bendahara yang hanya menjalankan tugas, tapi justru dikorbankan,” pungkas Akwan.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments