Kasus dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan Pimpinan Bank BRI Bintuni mencuat setelah laporan dari Herlin Rombe masuk ke Polres Bintuni. Menurut laporan, oknum pimpinan bank BRI Bintuni diduga bersekongkol untuk meminta korban menyerahkan ponsel pribadinya tanpa izin yang sah atau surat penyitaan dari pengadilan.
Dalam insiden tersebut, Herlin Rombe mengaku berada di bawah tekanan dari atasan untuk memberikan akses kode dan sidik jari ponselnya. Setelah berhasil membuka ponsel, oknum pimpinan bank tersebut dilaporkan membaca dan melakukan tangkapan layar (screenshot) dari isi chat di ponsel Herlin Rombe, kemudian mengirimkan tangkapan layar tersebut ke pimpinan yang lebih tinggi.
Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, yang juga kuasa hukum dari Herlin Rombe, menyatakan bahwa tindakan pimpinan bank ini tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). “Perbuatan mengambil ponsel tanpa hak dan melihat isi chat korban jelas melanggar privasi dan hak individu,” ujarnya.
Menurut Yohanes Akwan, siapapun tanpa hak, termasuk polisi, tidak berhak memeriksa ponsel milik orang lain tanpa izin. “Polisi saja tidak bisa sembarangan melihat isi ponsel tanpa adanya surat penyitaan dari ketua pengadilan negeri. Penyidik harus menunjukkan surat tersebut sebelum melakukan penyitaan,” tegasnya.
Tindakan membuka ponsel orang lain tanpa izin dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 30 tentang Akses Ilegal, dengan ancaman minimal 6 tahun penjara. Pemerintah, khususnya kepolisian, memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak asasi manusia bagi pengguna internet di Indonesia, termasuk di ruang siber.
“Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa privasi setiap individu harus dihormati dan dilindungi. Mereka yang melanggar hukum harus diseret ke meja hijau. Kesewenangan pimpinan yang memaksa bawahannya ini memperihatinkan. Praktik feodalisme dilkukan oleh pimpinan bank plat merah di tahun 2024. tambah Yohanes Akwan. Kasus ini akan dilaporkan lebih lanjut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, guna memastikan penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak asasi manusia.