Yohana Tiko, Direktur ED Walhi Kaltim
Manokwari, BUR – Situasi pandemi Covid-19 ternyata bisa menjadi ruang untuk upaya kriminalisasi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan di Kalimantan Timur (Kaltim).
Dalam konferensi pers yang digelar melalui Zoom, Sabti, 1/8/2020, Yohana Tiko, Direktur WALHI Kaltim menjelaskan kejadian yang bermula pada tanggal 29 Juli 2020 lalu. Saat itu sekitar pukul 16.00 WITA, lima orang petugas yang mengaku berasal dari salah satu dinas di Kota Samarinda mendatangi Kelompok Kerja (Pokja) 30, yang berlanjut ke kantor Walhi Kaltim yang letaknya bersebelahan, untuk melakukan random sampling swab test.
Sejumlah aktivis dan dari kedua LSM ini pun ikut, dengan kesadaran untuk memutus mata rantai covid-19 yang sedang menjadi pandemi di Indonesia.
Namun sejumlah kejanggalan mewarnai tes yang dilakukan oleh para petugas ini. Tidak digunakannya Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan protokol standar petugas, menjadikan Yohana Tiko bertanya-tanya. Yang menjadi kejanggalan selanjutnhya adalah random sampling yang hanya menyasar dua kantor ini saja di area tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Tiko, pada tanggal 30 Juli, kantornya kembali didatangi oleh petugas Satpol-PP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) serta Humas Dinas Kesehatan Kota Samarinda untuk dilakukan penyemprotan desinfektan. Penyemprotan tersebut diikuti dengan pencarian orang oleh petugas Pol-PP tidak dengan alasan yang jelas.
Pada keesokan harinya, 31/7, datang sejumlah petugas yang menjadi gabungan dari RT, lurah, BPBD, polisi dan Satpol-PP yang menjemput paksa tiga aktivis dari kantor Walhi dengan alasan positif covid. Tiko mempertanyakan hasil tes yang menjadi dasar dari penjemputan ini, namun tidak bisa ditunjukkan oleh satupun petugas yang datang.
Tiko menjadikan kasus ini sebagai contoh kriminalisasi atas beberapa advokasi yang dilakukan oleh Walhi yang dinilai meresahkan bagi beberapa oknum, yakni putusan kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, polemik RUU Omnibus Law-Cipta Kerja, serta kasus-kasus lain yang masih dalam proses advokasi oleh Walhi Kaltim.
Sementara itu, pengacara dari LBH Samarinda, Fathul Huda yang juga menjadi korban yang dijemput paksa dari kantor Walhi, mempertanyakan perihal prosedur penanganan covid yang dilakukan oleh petugas Gugus Tugas ini.
Kecurigaan Fathul terhadap vonis postif covid-19 tanpa adanya hasil tes ini, dihubungkan dengan aktivismenya sebagai salah satu penasihat hukum dari 7 tahanan politik (Tapol) Papua yang sedang ditahan di Rutan Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tiko, Fathul dan kawan-kawan Walhi sangat mendukung upaya-upaya pemerintah dalam memutus penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia. Namun upaya kriminalisasi mengan modus ini tidaklah sepatutnya terjadi.
Artikel ini sepenuhnya merupakan kiriman kontributor yang telah melalui editing. – FN