
Mama Tineke Rumkabu, penyintas tragedi Biak Berdarah mencurahkan kekecewaanya di media sosial pada (6/7/2021) karena ia tidak diperbolehkan menaruh krans bunga di lokasi kejadian, dimana 32 tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa pembantaian yang hingga kini masih menjadi misteri.
Kekecewaan Mama Tineke Rumkabu itu diunggah oleh Veronica Koman, Aktivis HAM melalui akun twitternya. https://twitter.com/VeronicaKoman/status/1412410279380537355?s=20
Tineke Rumkabu, hari itu hanya ingin mengingatkan kembali serta menaruh krans bunga sebagai tanda penghormatan bagi mereka yang dibantai di bawah Menara Tower, 23 tahun yang lalu, ketika mereka mengekspresikan keinginan untuk merdeka secara damai.
Kesaksian Tineke Rumkabu, Penyintas Tragedi Biak
Tineke Rumkabu, adalah salah satu saksi dan korban dari peristiwa berdarah di Biak, Papua, 23 tahun yang lalu. Ia bercerita melalui kanal YouTube Harian Kompas, bagaimana mereka yang sedang berekspresi secara damai, dipaksa untuk meninggalkan lokasi dengan cara diseret, ditendang, dan ditembaki oleh aparat.
Tahun 98 merupakan tahun penuh gejolak politik di Republik Indonesia. Carut marut kondisi ekonomi politik, dimulai dari krisis ekonomi, yang berlanjut pada kerusuhan Mei yang mengakibatkan Soeharto mundur sebagai penanda berakhirnya rezim orde baru.
Bukan hanya di Pulau Jawa saja, pergolakan rakyat muncul di mana-mana. Dari Aceh, Timor Timur dan Papua pun ikut bergejolak, dengan tuntutan untuk memerdekakan diri.
Pada tanggal 6 Juli, hampir seantero Tanah Papua (kala itu masih disebut dengan nama Irian Jaya), mengekspresikan keinginan mereka secara damai.
Menurut Tineke, hari itu banyak sekali orang yang berkumpul di bawah Menara Tower untuk menyatakan keinginan mereka berpisah dengan Indonesia.
Tineke dan kawannya bertugas untuk mengantarkan konsumsi bagi mereka yang sedang berdemo kala itu. Dalam perjalanannya, ia mengungkapkan kegundahan seperti firasat yang tidak mengenakkan ketika hampir tiba di lokasi.
Tak lama berselang, firasat tersebut berbuah peristiwa pahit yang menjadi trauma dari Tineke dan beberapa kawannya. Sejumlah tentara turun melompat dari truk, menendang dan menyeret Tineke dan kawannya, serta mengusir mereka untuk lari dari lokasi demo masyarakat.
Keadaan chaos tak terhindarkan. Masyarakat kocar kacir, dan menurut Tineke, hari itu tentara menembakkan peluru tajam tepat ke arah demonstran.
Sepatu boots bersarang di kepala-kepala mereka yang tak bersenjata. Desing peluru bukan hanya dari moncong senjata tentara sekitar, namun dari kapal-kapal perang bersahutan.
Menurut Tineke, tanggal 6 Juli 1998 di Biak, sudah seperti suasana perang. Namun yang dilawan oleh aparat adalah masyarakat sipil tak bersenjata. Sebuah pembantaian.
Ia mengingat hal itu. Delapan bulan ia harus menjalani hukuman penjara karena dianggap sebagai separatis. Dan beberapa rekannya harus dirawat di rumah sakit jiwa karena peristiwa itu menjadi trauma yang berkepanjangan.
32 Tahun Tanpa Adanya Kejelasan
Data korban yang dicatat oleh LSM HAM Elsham Papua, seperti kami lansir dari Tirto.id, terdapat delapan orang yang meninggal dunia, tiga yang hilang, empat orang mengalami luka berat, 33 orang luka ringan, 50 orang ditahan tanpa kejelasan, juga ditemukan 32 mayat yang mengambang di Pantai Biak, Papua.
Berdasarkan data temuan Komnas HAM, tragedi Biak merupakan tragedi kemanusiaan yang harus mendapatkan penyelidikan lebih lanjut.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, “Komnas HAM pernah membentuk kajian kebijakan daerah operasi militer Papua. Berdasarkan hasil temuan tim pengkajian tersebut, kasus Biak berdarah direkomendasikan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut karena adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat” ungkapnya seperti kami lansir dari laman komnasham.go.id
Nampaknya, Tragedi Biak 98 tidak hanya dibiarkan berlarut tanpa ada sebuah investigasi. Namun dari apa yang diungkap oleh Mama Tineke Rumkabu, kejadian ini ditutup-tutupi seolah tak pernah terjadi.
Tineke merupakan satu dari sekian banyak masyarakat Papua yang mengendus sol sepatu aparat kala itu. Keinginan mereka agar apa yang menjadi sebuah misteri bisa menjadi investigasi. Memberikan pencerahan atas apa yang pernah terjadi, bukan justru ditutup-tutupi.
Sumber:
Komnas HAM – 22 Tahun Tragedi Biak Berdarah
Tirto ID – Biak Berdarah 6 Juli 1998: Jalan Damai Berbuntut Kematian
Harian Kompas – Meletusnya Peristiwa Biak Berdarah di Papua