Nabire – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti kembali menegaskan kiprahnya sebagai lembaga advokasi rakyat dengan merambah wilayah Nabire, Papua Tengah. Melalui pendampingan hukum terhadap seorang warga perempuan, YLBH Sisar Matiti mengungkap praktik peminjaman uang dengan bunga mencekik yang merugikan masyarakat kecil.
Kasus ini bermula dari perjanjian pinjaman sebesar Rp100 juta yang dibebani bunga 15% per bulan. Selama dua tahun, klien YLBH Sisar Matiti telah membayar bunga hingga mencapai Rp180 juta ditambah pembayaran bunga pengandaian Rp12,6 juta dan pelunasan pokok Rp60 juta. Tak berhenti di situ, Penggugat bahkan menyuruh klien YLBH Sisar Matiti untuk menggadaikan emas di Pegadaian.
“Uang hasil gadai emas justru diambil sendiri oleh pihak pemberi pinjaman, sementara klien kami tetap diminta membayar bunganya. Ketika tidak mampu lagi membayar, Pegadaian menyita obyek jaminan emas tersebut. Inilah praktik rentenir yang secara hukum bertentangan dengan asas kepatutan,” jelas tim hukum YLBH Sisar Matiti.
Total nilai gadai emas mencapai Rp83 juta, terdiri dari gadai pertama Rp40 juta, gadai kedua Rp20 juta, dan gadai ketiga Rp23 juta. Ironisnya, meski sudah menerima begitu banyak pembayaran, pihak pemberi pinjaman tetap melayangkan gugatan dengan dalil “pinjam emas” ke Pengadilan Negeri Nabire.
Dalil Sita Jaminan Ditolak
Dalam jawaban gugatannya, YLBH Sisar Matiti menegaskan bahwa permohonan sita jaminan tidak dapat diterima. Pasalnya, emas yang dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan klien, melainkan telah dilelang Pegadaian. “Permintaan sita jaminan itu illusoir, karena objeknya sudah tidak ada. Hukum tidak boleh dipakai untuk melegitimasi hal yang tidak nyata,” tambah tim kuasa hukum.
Komitmen Membela Rakyat
Dengan hadirnya kasus ini, YLBH Sisar Matiti menandai kiprah barunya di Nabire setelah sebelumnya aktif di wilayah Papua Barat dan Papua Barat Daya. “Ini membuktikan bahwa kehadiran kami tidak hanya di Manokwari, Sorong, atau Teluk Bintuni. Sekarang Nabire juga menjadi wilayah pengabdian kami, untuk memastikan masyarakat kecil tidak lagi ditindas praktik rentenir dan bunga mencekik,” ujar Direktur YLBH Sisar Matiti, Yohanes Akwan, S.H., M.A.P.
Tegas Melawan Rentenir
Dalam rekonvensi yang diajukan, YLBH Sisar Matiti meminta majelis hakim untuk menyatakan bahwa hubungan hukum para pihak adalah utang-piutang uang, bukan pinjam emas. Selain itu, meminta hakim memutuskan bunga 15% per bulan sebagai praktik rentenir yang melanggar asas kepatutan, dan memerintahkan pengembalian kelebihan pembayaran bunga.
“Bunga wajar dalam utang piutang seharusnya tidak lebih dari 1–2% per bulan. Bunga 15% per bulan jelas tidak manusiawi. Kami hadir untuk membela korban, dan menegakkan hukum yang berkeadilan,” tegas Akwan.
Penutup
Kasus ini bukan hanya soal sengketa perdata biasa, tetapi menjadi momentum bahwa YLBH Sisar Matiti semakin memperluas kiprahnya di Tanah Papua, termasuk Nabire. Dengan pendekatan advokasi berbasis rakyat, YLBH Sisar Matiti siap menjadi benteng hukum masyarakat kecil menghadapi praktik-praktik yang tidak adil.