Saya sejatinya bukan penggemar One Piece atau anime apapun selain Crayon Shinchan dan Doraemon. Namun dalam beberapa minggu belakangan ini, bendera One Piece menghiasi lini masa jagat maya, maka mau tidak mau akhirnya saya mencari tahu, kenapa bendera One Piece?
Pengibaran bendera One Piece menjadi sarana masyarakat untuk melampiaskan kritik dan kekecewaan mereka dalam ekspresi satir. Tapi ya pemerintah tetaplah pemerintah, menganggap sesuatu yang anomali menjadi sebuah bentuk “pelanggaran konstitusi” bahkan dikategorikan makar dalam konteks yang dianalogikan sesuka hati, tanpa legitimasi, “pokoknya suka-suka ai”.
Bendera tengkorak bertopi jerami di dunia One Piece bukanlah lambang kekerasan, tapi lambang kebebasan. Bahwa mereka tidak tunduk pada kekuasaan mutlak, impian tentang manusia merdeka, seperti yang diceritakan oleh Immanuel Kant, “What is Enlightenment?” (1784) “Manusia merdeka adalah manusia yang berpikir untuk dirinya sendiri, tidak tunduk pada dogma atau kekuasaan yang membungkam rasio”.
Bukankah ini merupakan dasar dari berdirinya semua negara yang mengagungkan demokrasi? Inilah visi dari para pendiri bangsa ini? Ataukah demokrasi sendiri sudah kehilangan makna di republik ini? Menjadi sekadar jargon untuk mengisi kekosongan ideologi republik?
Simbol, sejatinya, tidak pernah netral. Ia menyimpan makna, sejarah, dan harapan. Maka ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4, memperbolehkan rakyat Papua mengibarkan Bendera Bintang Kejora sebagai ekspresi budaya, itu bukan keputusan kecil. Itu adalah pernyataan bahwa negara tidak perlu takut pada simbol, selama ia merupakan bagian dari ekspresi identitas manusia. “Orang boleh beda pendapat, tapi jangan saling memusuhi.” – Gus Dur
Dalam konteks inilah kita bisa memahami bagaimana sikap Gus Dur memberi pelajaran penting, Bendera bajak laut bukan entitas, bukan identitas, ia lebih menjadi visi – janji kepada dunia untuk tidak tunduk pada rezim. Bahwa pemimpin seharusnya tidak takut kepada simbol, yang dimaknai sebagai umbul-umbul oleh Gus Dur. Sebagai bentuk ekspresi kebudayaan, bukan sebuah identitas yang dijadikan bahaya laten dan diinterpretasikan sebagai bentuk kemakaran terhadap republik.
Sama halnya dengan bendera Bajak Laut, Gus Dur kala itu menjadi pendobrak pemikiran konservatif nasinalis yang menganggap Bintang Kejora adalah bentuk pemberontakan. Ia berhasil membawa konteks yang dianggap tabu sebagai sebuah ekspresi akan kebudayaan, sebuah janji akan harapan, melepas belenggu ketakutan bagi masyarakat Papua.
Gus Dur tidak sedang melemahkan NKRI di mata Orang Papua, justru ia sedang membuka ruang bagi Papua untuk bisa mengenal dan mempelajari apa itu integrasi, yang dianggap sebagai bentuk kolonialisme kala itu.
Bendera bukanlah ancaman jika kita bisa memahami maknanya secara utuh. Ia cuma selembar kain yang membawa sejuta harapan. Menjadi jembatan antara kekuasaan dan warga, antara sejarah dan masa depan.
Gus Dur telah membuka pintu itu—pintu pengakuan terhadap kebebasan simbolik. Maka tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa pintu itu tidak ditutup kembali oleh ketakutan yang tak berdasar.
Namun yang paling menarik, barangkali, adalah bagaimana sejarah juga menyimpan kebetulan yang puitis. Jika dalam dunia imajinasi One Piece, para bajak laut berlayar demi kebebasan dan harga diri, maka dalam sejarah nyata, tanah Papua pun pernah melahirkan para pelaut pemberani yang dijuluki sebagai “Papoesche Zeerovers”—bajak laut Papua. Mereka bukan fiksi. Mereka nyata. Dan mereka berasal dari Suku Biak. Bahkan, mereka pernah membantu Sultan Nuku dari Tidore dalam perlawanan terhadap Kesultanan Jailolo dari Ternate. Seolah-olah, bendera bajak laut itu bukan hanya milik Luffy, tapi juga milik nenek moyang kita di Papua.
Kini, mungkin sudah saatnya kita melihat bahwa bendera bukan sekadar kain, tetapi cermin dari kebebasan berpikir, bermimpi, dan menjadi diri sendiri, seperti para pelaut Biak dahulu, dan seperti Luffy hari ini.
Fredi Nusa