HomeKabar BintuniManokwari Tertinggal di Tengah Pertumbuhan Papua Barat: Saat Ibu Kota Butuh Napas...

Manokwari Tertinggal di Tengah Pertumbuhan Papua Barat: Saat Ibu Kota Butuh Napas Baru Ekonomi

Manokwari – Di tengah gegap gempita pembangunan di berbagai wilayah Papua Barat, ibu kota provinsi ini justru tampak kehilangan denyut ekonominya. Perputaran ekonomi di Kota Manokwari kini seperti hidup segan, mati tak mau. Di sepanjang jalan utama, mulai dari kawasan Pelabuhan hingga lampu merah Haji Bauw, deretan toko dan kios yang tutup menjadi pemandangan sehari-hari. Aktivitas masyarakat yang dulu ramai kini lesu. UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal banyak yang tidak lagi beroperasi.

Hal ini disampaikan oleh Tim riset dan data dari YLBH Sisar Matiti, setelah melihat dan memantau kegiatan perekonomian di sektor UMKM di Manokwari. Dari hasl pemantauan tersebut, tim YLBH Sisar Matiti kemudian melakukan pengolahan data sekunder dari berbagai referensi yang kemudian diolah menjadi sumber dari publikasi ini.

Fenomena ini menandai gejala ekonomi “mati suri” yang mulai dirasakan warga Manokwari. Dinas Koperasi dan UMKM dinilai berjalan lambat dalam merespons situasi, sementara pemerintah daerah terlihat belum menunjukkan langkah nyata untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat.
“Sudah banyak usaha kecil yang tutup, dan peluang kerja hampir tidak ada. Pemerintah harus hadir dengan solusi nyata,” ujar salah seorang warga di kawasan Sanggeng.

Pertumbuhan Lambat di Pusat Pemerintahan

Sebagai ibu kota Provinsi Papua Barat, Manokwari seharusnya menjadi lokomotif ekonomi. Namun data justru menunjukkan sebaliknya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manokwari pada tahun 2022 hanya 2,06 persen (c-to-c)—salah satu yang terendah di wilayah Papua Barat. Angka ini bahkan tertinggal jauh dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,3 persen di tahun yang sama.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua Barat secara keseluruhan pada semester I tahun 2025 justru mencapai 11,11 persen, terutama ditopang oleh aktivitas sektor pertambangan dan industri migas di luar wilayah Manokwari. Artinya, meskipun provinsi tumbuh pesat, denyut ekonomi di pusat pemerintahan justru melambat.

Indeks Gini Papua Barat juga masih berada di angka 0,374 per Maret 2025, menunjukkan ketimpangan pengeluaran yang cukup tinggi. Dengan kata lain, pertumbuhan yang terjadi belum menyentuh masyarakat bawah, khususnya pelaku UMKM dan tenaga kerja informal di kota Manokwari.

UMKM Lesu, Bantuan Tak Seimbang

Data pemerintah menunjukkan bahwa pada April 2025, hanya 178 pelaku UMKM di Manokwari yang menerima bantuan dana stimulan sebesar total Rp984 juta. Angka ini tentu tidak sebanding dengan jumlah pelaku usaha kecil yang aktif di wilayah ibu kota provinsi, yang diperkirakan mencapai ribuan unit.

Bila kita bandingkan dengan Kota Sorong, yang kini menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat Daya. Di kota tersebut, pemerintah daerah mendata lebih dari 6.800 pelaku UMKM dan secara rutin menyalurkan bantuan modal usaha antara Rp2 juta hingga Rp8,5 juta per pelaku. Selain itu, program pendampingan dan pendataan UMKM dilakukan secara sistematis oleh Dekranasda dan Dinas Perdagangan, dengan ratusan petugas lapangan dikerahkan untuk memantau perkembangan usaha rakyat.

Kesenjangan ini memperlihatkan betapa Manokwari tertinggal dalam hal pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bantuan yang terbatas dan tidak merata membuat banyak pelaku usaha kecil memilih menutup kios atau menghentikan usaha mereka.

APBD Didominasi Belanja Aparatur

Salah satu akar dari lesunya ekonomi lokal terletak pada pola penggunaan anggaran daerah. Berdasarkan data BPS dan dokumen realisasi APBD Kabupaten Manokwari 2023, proporsi belanja daerah masih sangat didominasi oleh belanja aparatur dan gaji pegawai, sementara porsi belanja publik di sektor ketenagakerjaan, perdagangan, dan UMKM sangat kecil.

Belanja yang bersifat produktif, seperti pembangunan infrastruktur ekonomi rakyat, pelatihan kerja, atau akses permodalan UMKM, belum menjadi prioritas utama. Akibatnya, perekonomian lokal cenderung tergantung pada perputaran gaji pegawai negeri, anggota TNI, Polri, BUMN, dan BUMD. Sektor swasta dan UMKM belum menunjukkan geliat yang berarti.

Dari sektor perhubungan, tentu akses ke Manokwari juga menjadi salah satu penyumbang lesunya kegiatan ekonomi di jantung Papua Barat ini. Tidak tersedianya akses lintas udara secara langsung dari berbagai kota besar Indonesia, terutama Jakarta adalah salah satu keengganan masyarakat luar untuk mengunjungi Manokwari. Padahal, sebagai ibu kota Provinsi, seharusnya akses ini dibuka langsung dan menjadi prioritas maskapai penerbangan. Apalagi maskapai Garuda Indonesia pun masih enggan membuka rute ke Manokwari. Alih-alih, pelaku bisnis, lebih nyaman mengunjungi Kota Sorong, yang bisa diakses langsung oleh beberapa maskapai.

Lapangan Kerja Menyempit, Generasi Muda Menganggur

Salah satu akibat dari situasi ini adalah, dampaknya langsung pada ketenagakerjaan. Data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat mencapai 4,31 persen pada Februari 2024, atau sekitar 12.500 orang dari total angkatan kerja 302 ribu jiwa. Sebagian besar pengangguran ini terkonsentrasi di wilayah perkotaan, termasuk Manokwari.

Dengan terbatasnya sektor swasta yang tumbuh, lulusan muda dan tenaga kerja produktif kesulitan mencari pekerjaan. Mereka akhirnya memilih bekerja serabutan atau merantau ke daerah lain seperti Sorong dan Fakfak, yang menawarkan peluang ekonomi lebih menjanjikan.

Sorong Melesat, Manokwari Tertinggal

Kota Sorong kini menjelma menjadi episentrum ekonomi di wilayah barat Papua. Dengan PDRB sebesar Rp19,34 triliun pada semester I 2025 dan pertumbuhan 3,99 persen (c-to-c), Sorong menjadi magnet baru investasi dan aktivitas bisnis. Pemerintahnya aktif menyiapkan ekosistem ekonomi rakyat melalui KUR, pendataan UMKM, dan program pemberdayaan berbasis masyarakat.

Sebaliknya, Manokwari—yang secara administratif lebih dulu menjadi ibu kota provinsi—masih terjebak dalam pola birokrasi dan belanja rutin. Infrastruktur ekonomi seperti pasar rakyat, sentra UMKM, dan akses modal belum berkembang pesat. Akibatnya, posisi Manokwari kini tertinggal dari Sorong, baik dalam daya tarik investasi maupun semangat kewirausahaan masyarakatnya.

Manokwari Butuh Terobosan Baru

Manokwari tidak bisa terus bergantung pada statusnya sebagai ibu kota provinsi. Daerah ini memerlukan terobosan ekonomi berbasis masyarakat, bukan sekadar seremonial pembangunan kantor pemerintahan. Pemerintah perlu memperbesar porsi belanja publik yang produktif, terutama untuk: membuka lapangan kerja baru, memperkuat permodalan dan pelatihan UMKM, serta memperluas pasar bagi produk lokal.

Tanpa langkah berani dan terukur, Manokwari berisiko menjadi ibu kota yang hidup dari rutinitas birokrasi, sementara denyut ekonominya perlahan padam.

Referensi:

  • BPS Kabupaten Manokwari. Kabupaten Manokwari dalam Angka 2023.
  • BPS Papua Barat. Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat Triwulan II 2025.
  • BPS Kota Sorong. Kota Sorong dalam Angka 2024.
  • Dinas Koperasi & UMKM Kabupaten Manokwari, Laporan Bantuan UMKM April 2025.
  • Dinas Koperasi & Dekranasda Kota Sorong, Program Pemberdayaan UMKM 2025.
  • Antara News Papua Barat (2025), Ekonomi Papua Barat Tumbuh 11,11 Persen.
  • Katadata.co.id (2025), Ketimpangan Ekonomi Papua Barat Masih Tinggi.
  • Dokumen Realisasi APBD Kabupaten Manokwari 2023.
  • Papua Barat Pos (2025), UMKM Manokwari Terpuruk di Tengah Pertumbuhan Provinsi.

Publikasi ini merupakan rubrik opini yang menggunakan data sekunder – Tim Riset dan Data YLBH Sisar Matiti.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments