Oleh: Yohanes Akwan, S.H., M.A.P.
Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti
Teluk Bintuni — Bisnis bahan bakar minyak (BBM) sejak lama menjadi ladang yang menggiurkan. Permintaannya tinggi, perputaran uangnya cepat, dan pasarnya tak pernah sepi — dari industri besar hingga perahu nelayan di kampung-kampung pesisir. Tak heran, banyak orang berlomba-lomba masuk ke bisnis ini, baik secara legal maupun melalui jalan pintas yang penuh risiko.
Di jalur resmi, distribusi BBM diatur ketat melalui jaringan SPBU dan agen berizin Pertamina. Semua tunduk pada mekanisme: kuota, harga jual, hingga sistem pelaporan. Keuntungannya stabil, risikonya kecil, dan tentu aman secara hukum. Tetapi bagi sebagian orang, aturan justru dianggap penghalang. Maka muncullah praktik di luar sistem: penimbunan, pengoplosan, hingga penjualan BBM bersubsidi untuk industri.
Kelangkaan dan Kejanggalan di Lapangan
Di Teluk Bintuni, fenomena kelangkaan BBM beberapa bulan terakhir menjadi perhatian serius. Antrean panjang di SPBU Bintuni dan Tofoi sudah sering terlihat. Sopir truk logistik bahkan mengaku bisa menunggu lebih dari delapan jam untuk mendapatkan solar. Ironisnya, di saat yang sama, ada pelaku usaha yang tampak “selalu punya stok” dan bisa menjual solar dengan harga jauh di atas ketentuan resmi.
Pertanyaannya: dari mana asal bahan bakar itu?
Dari laporan yang masuk ke YLBH Sisar Matiti, ada indikasi kuat bahwa penyaluran solar bersubsidi tidak seluruhnya tepat sasaran. Beberapa agen diduga menyalurkan BBM ke kapal industri dan perusahaan yang seharusnya menggunakan solar nonsubsidi. Kondisi ini memunculkan kelangkaan di tingkat masyarakat umum — terutama nelayan, petani, dan pelaku usaha kecil.
Modus-Modus Lama yang Masih Terjadi
Dalam pemantauan kami, ada tiga modus utama dalam penyimpangan distribusi BBM.
Pertama, praktik “kencing kapal” — di mana kapal tanker yang seharusnya memuat 200 ton BBM, diam-diam membawa lebih dari itu. Selisih 20–30 ton sering disamarkan sebagai “toleransi kehilangan”, padahal itu menjadi ruang penyimpangan klasik.
Kedua, pencurian di tengah laut. Kapal SPOB yang disewa untuk mengangkut solar kerap memindahkan bahan bakar ke kapal-kapal kecil milik pengusaha lokal. BBM hasil curian ini kemudian dijual dengan harga hanya sepertiga dari harga solar industri.
Ketiga, transfer ilegal antar kapal atau suntik BBM. Dua kapal bertemu di laut, saling merapat, lalu menyalurkan bahan bakar di luar sistem distribusi resmi. Modus ini sering berlindung di balik dokumen yang tampak sah — bahkan menggunakan tangki bertuliskan “Pertamina”, padahal bukan milik agen resmi.
Lebih parah lagi, praktik ini diduga melibatkan oknum aparat dan pihak tertentu yang memiliki jaringan bisnis kuat. Mereka bekerja senyap, tapi efeknya terasa luas: kelangkaan, kenaikan harga, dan keresahan publik.
Antara Keuntungan dan Keadilan
Bisnis BBM memang menjanjikan keuntungan besar, tetapi juga menjadi ujian besar bagi kejujuran dan tanggung jawab sosial kita. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya uang, melainkan keadilan bagi masyarakat kecil. Ketika distribusi disabotase demi keuntungan pribadi, yang menderita adalah sopir angkutan, nelayan, dan petani yang bergantung pada bahan bakar untuk bertahan hidup.
Praktik ilegal ini tumbuh subur karena lemahnya pengawasan dan pembiaran. Negara kehilangan pendapatan, masyarakat kehilangan akses, sementara segelintir orang menumpuk keuntungan dari kecurangan.
Inilah bentuk nyata dari ketimpangan ekonomi yang berakar pada korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
Saatnya Menata Ulang
Sudah saatnya pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan Pertamina menata ulang tata niaga BBM di Papua Barat, khususnya di Teluk Bintuni. Pengawasan distribusi harus dilakukan secara transparan dan berbasis data publik. Agen resmi perlu dievaluasi secara berkala, sementara pelaku penimbunan dan pengoplosan harus ditindak tegas tanpa pandang bulu.
Kita tidak boleh terus membiarkan “mafia BBM” beroperasi seolah mereka bagian dari sistem resmi. Bisnis yang benar bukan yang paling untung, tetapi yang paling bermanfaat. Keuntungan sejati tidak diukur dari berapa banyak uang yang diperoleh, melainkan seberapa besar keadilan yang ditegakkan dan seberapa luas manfaat yang dirasakan masyarakat.
Teluk Bintuni — dan Papua Barat pada umumnya — butuh energi bersih, bukan sekadar bahan bakar; butuh keadilan ekonomi, bukan monopoli oleh segelintir orang.
Tentang Penulis:
Yohanes Akwan, S.H., M.A.P., adalah Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, Manokwari. Aktif dalam advokasi sosial, lingkungan, dan tata kelola sumber daya alam di Tanah Papua.
Teluk Bintuni, 31 Oktober 2025



 


