Buton Selatan, selasa 2 Desember 2025— Aliansi Mahasiswa Buton Selatan (AMBS) kembali mengkritisi persoalan ganti rugi lahan dan tanaman masyarakat dalam pembangunan Batalion TP. 871 Lamaindo seluas 50 hektare yang berlokasi di Kelurahan Busoa dan Lakambau, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.
Dalam aksi yang digelar di depan Kantor Dinas PUPR dan Kantor Bupati Buton Selatan, Koordinator Lapangan AMBS, La Ode Yufandi, menegaskan bahwa pemerintah daerah seharusnya mampu menyelesaikan persoalan pembangunan tersebut secara baik dan tanpa menimbulkan keresahan masyarakat.
“Ini merupakan program prioritas Presiden Prabowo dan Menhan RI. Harusnya forkopimda menyambut ini dengan baik seperti daerah lain, bukan justru menimbulkan masalah yang berpotensi merugikan masyarakat,” ujarnya.
Yufandi juga menyoroti dampak penebangan pohon di lokasi pembangunan yang dinilai merugikan masyarakat pemilik lahan. Menurutnya, pembangunan tidak boleh menghilangkan mata pencaharian warga yang selama ini bergantung pada hasil tanaman.
“Kami sangat menyayangkan. Akibat penebangan pohon ini, masyarakat tidak bisa lagi mengolah lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup,” tambahnya.
Selain isu Batalion, AMBS turut menyoroti pembangunan MCK di Kelurahan Busoa yang diduga tidak sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB). Mereka menilai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Busoa telah lalai dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga perlu dilakukan evaluasi.
“Kami datang ke Dinas PU untuk meminta penjelasan, tetapi tidak ada kepala dinas maupun kabid cipta karya. Jangan sampai masalah seperti ini terjadi juga pada KSM lain. Karena itu kami minta evaluasi,” tegasnya.
Setelah berorasi di kantor dinas, para demonstran kemudian bergerak menuju Kantor Bupati Buton Selatan. Tidak lama berselang, peserta aksi diterima oleh Asisten III Sekretariat Daerah Buton Selatan.
La Ode Safilin, yang juga merupakan bagian dari tim ganti rugi lahan Batalion, menjelaskan bahwa pemerintah daerah tidak bermaksud merugikan masyarakat. Ia menekankan bahwa seluruh proses harus mengikuti mekanisme hukum yang berlaku.
“Insyaallah pemerintah tidak akan merugikan masyarakat. Semua harus sesuai aturan. Apa artinya pembangunan ini kalau akhirnya menyusahkan warga,” katanya.
Bapak La Ode Safilin juga menegaskan bahwa pemerintah daerah tetap berkomitmen mencari solusi terkait lahan masyarakat, termasuk lahan bersertifikat seluas 9 hektar yang hingga kini belum disepakati harganya.
“Pak Bupati sudah menyampaikan bahwa solusi akan terus diupayakan. Tetapi lahan bersertifikat 9 hektare itu tidak bisa langsung dibayarkan sekarang karena belum ada kesepakatan harga. Meski begitu, pemda sudah mengalokasikan anggaran,” pungkasnya.
Aksi AMBS ditutup dengan permintaan agar pemerintah daerah lebih transparan dalam proses ganti rugi dan memastikan pembangunan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.



