HomeKabar BintuniAkwan: Pembangunan Papua Jangan Disentralisasi Lewat KPPP, Otsus Adalah Mandat Rakyat

Akwan: Pembangunan Papua Jangan Disentralisasi Lewat KPPP, Otsus Adalah Mandat Rakyat

Manokwari — Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti, Yohanes Akwan, S.H., M.A.P., C.L.A., menegaskan bahwa pembangunan Papua tidak boleh ditarik kembali ke Jakarta melalui mekanisme baru yang berpotensi menegasikan prinsip Otonomi Khusus (Otsus). Penegasan ini disampaikan menyusul rencana Presiden Republik Indonesia mengumpulkan para bupati se-Tanah Papua bersama Komite Percepatan Pembangunan Papua (KPPP).

Menurut Akwan, Otsus Papua sejak awal dirancang sebagai mandat desentralisasi yang lahir dari kesepakatan politik dan historis antara Papua dan Jakarta. Karena itu, seluruh kebijakan pembangunan di Papua seharusnya tetap berpijak pada penghormatan terhadap kedaulatan rakyat Papua dan institusi-institusi Otsus yang telah diamanatkan undang-undang.

Ia menjelaskan bahwa Dewan Adat Papua (DAP), khususnya melalui Presidium Dewan Adat Papua (PDP), merupakan representasi kultural rakyat Papua yang memiliki peran penting dalam proses lahirnya Otsus. Namun, Yohanes menekankan bahwa posisi tersebut kerap terpinggirkan dalam praktik perencanaan pembangunan nasional yang cenderung sentralistis.

“Menurut kami, sebagaimana pandangan Dewan Adat Papua, peran representasi kultural rakyat Papua harus ditempatkan secara bermartabat dan setara dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan. Otsus tidak boleh direduksi menjadi sekadar program administratif,” ujar Akwan di Manokwari, Senin (15/12/2025).

Lebih lanjut, Akwan menyoroti keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) serta DPR Papua dan DPR Kabupaten/Kota sebagai instrumen konstitusional Otsus. Lembaga-lembaga tersebut, kata dia, memiliki fungsi legislasi, representasi, dan pengawasan yang tidak dapat diabaikan. Jika KPPP menjadi pusat kendali pembangunan Papua, maka mekanisme akuntabilitas, pengawasan, serta partisipasi rakyat Papua wajib dijelaskan secara terbuka.

Akwan juga mengingatkan bahwa pembangunan di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari realitas konflik yang masih berlangsung di sejumlah wilayah Papua. Pembangunan yang dijalankan tanpa pendekatan penyelesaian konflik dan tanpa keterlibatan penuh masyarakat lokal berisiko melahirkan ketimpangan baru dan memperdalam krisis kepercayaan terhadap negara.

Dalam konteks tersebut, Akwan mendorong agar KPPP tidak mengambil alih kewenangan daerah, melainkan berfungsi sebagai fasilitator dialog. Salah satu langkah strategis yang dinilai penting adalah mendorong lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) Papua–Jakarta sebagai kesepakatan politik dan moral.

“MoU Papua–Jakarta penting agar setiap agenda pembangunan benar-benar merupakan hasil kesepakatan dengan rakyat Papua. Tanpa itu, pembangunan berpotensi menjadi keputusan sepihak yang bertentangan dengan semangat Otsus,” tegasnya.

Ia menambahkan, Otonomi Khusus tidak boleh dimaknai sebagai sentralisasi baru dengan kemasan percepatan pembangunan. Pemerintah pusat, menurut Akwan, justru harus membuka ruang dialog yang setara, transparan, dan berkelanjutan dengan seluruh elemen representatif rakyat Papua.

“Pembangunan Papua harus menempatkan rakyat Papua sebagai subjek, bukan objek. Ini bukan sekadar soal anggaran dan proyek, tetapi soal keadilan, perdamaian, dan martabat,” pungkas Akwan.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments