Buton Selatan, Sulawesi Tenggara — Deru ekskavator di tepian pantai Kelurahan Bandar Batauga, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan, belakangan menjadi perhatian publik. Sebuah video yang beredar di media sosial, diunggah oleh akun resmi salah satu media nasional, memperlihatkan aktivitas penambangan pasir yang diduga dilakukan secara ilegal menggunakan alat berat.
Pemandangan itu memantik reaksi keras dari masyarakat dan pemerhati lingkungan. Pasalnya, kegiatan serupa telah berulang kali menjadi penyebab utama kerusakan pesisir di sejumlah wilayah Buton Selatan—mulai dari abrasi pantai, rusaknya ekosistem terumbu karang, hingga hilangnya biota laut yang menjadi sumber penghidupan nelayan.
DLH Turun Tangan
Menindaklanjuti hal tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Buton Selatan bersama aparat kepolisian, Satpol PP, dan Lurah Bandar Batauga melakukan inspeksi mendadak pada Selasa (7/10/2025). Dalam sidak itu, petugas tak lagi menemukan alat berat yang beroperasi, namun satu unit truk pengangkut pasir tertangkap tangan sedang beraktivitas.
“Saya turut hadir dan menyaksikan. Truk itu langsung diminta berhenti. Saat itu juga kami dokumentasikan seluruh temuan di lapangan,” jelas Suhariono, Sekretaris DLH Buton Selatan, ketika ditemui usai kegiatan sidak, Rabu (8/10/2025).
Ia menambahkan, pihaknya telah mengantongi nama pihak yang diduga menjadi dalang di balik aktivitas tambang ilegal tersebut. Namun langkah lebih lanjut, menurutnya, berada di ranah aparat penegak hukum.
“Sebenarnya sudah diketahui siapa pelakunya, tapi yang berwenang menyampaikan itu adalah kepala dinas. Kami hanya bisa melaporkan dan memberikan rekomendasi, sebab kewenangan penindakan ada di provinsi,” terangnya.
Sebagai tindak lanjut, DLH telah melaporkan hasil temuan tersebut kepada Sekretariat Daerah Kabupaten Buton Selatan serta mengirimkan surat resmi kepada Gakkum (Penegakan Hukum) Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara.
Desakan dari Pemerhati Lingkungan
Sikap DLH yang dinilai pasif menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Sambar, Ketua Aliansi Pemerhati Lingkungan Buton Selatan, yang menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya bertindak lebih proaktif.
“DLH tidak bisa sekadar menunggu provinsi. Ada ruang tindakan yang bisa dilakukan, misalnya menertibkan aktivitas di lapangan atau berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan lintas instansi,” tegasnya.
Sambar juga menyinggung Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan serta langkah pencegahan terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.
“Kalau dibiarkan, dampaknya bukan hanya abrasi dan rusaknya ekosistem laut, tapi juga pada kehidupan masyarakat. Nelayan bisa kehilangan mata pencaharian, dan pantai yang dulu jadi kebanggaan warga bisa hilang selamanya,” ujarnya.
Aliansi yang dipimpinnya bahkan berencana melayangkan surat pengaduan resmi kepada Polres Buton, serta mempersiapkan Surat Pemberitahuan Aksi (SP Aksi) sebagai bentuk desakan masyarakat sipil terhadap pemerintah.
Antara Regulasi dan Harapan
Persoalan tambang pasir ilegal di Buton Selatan tak hanya berbicara soal pelanggaran hukum, tetapi juga mencerminkan dilema antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan tanggung jawab menjaga kelestarian alam.
Di satu sisi, pasir menjadi sumber penghasilan cepat bagi sebagian warga yang beraktivitas secara manual. Namun di sisi lain, penambangan yang tidak terkendali membawa ancaman jangka panjang bagi ekosistem dan keselamatan lingkungan pesisir.
Kini, mata publik tertuju pada langkah pemerintah provinsi dan aparat penegak hukum—apakah akan turun tangan menegakkan aturan, atau membiarkan pasir-pasir itu terus dikeruk tanpa kendali?
Harapan akan lingkungan yang lestari kini bertumpu pada keberanian pemerintah dalam menegakkan hukum dan menata regulasi yang lebih berpihak pada daerah, agar pembangunan dan kelestarian alam bisa berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.
La Ode Erfin