Manokwari — Pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) di Tanah Papua kian mengkhawatirkan. Berbagai kasus yang melibatkan konflik lahan, eksploitasi sumber daya alam, serta lemahnya perlindungan terhadap masyarakat adat memperlihatkan bahwa tata kelola pembangunan di Papua masih jauh dari prinsip keadilan. Tekanan ini menuntut perhatian serius dari pemerintah provinsi hingga kabupaten.
Pemerintah Diminta Lebih Cermat Menerbitkan Izin
Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, Yohannes Akwan S.H., M.A.P., menegaskan bahwa pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat harus lebih teliti dalam menerbitkan rekomendasi dan izin prinsip. Ia mengingatkan bahwa kebijakan yang tidak dikontrol dengan baik berpotensi memperburuk kondisi masyarakat adat Papua yang selama ini menjadi pihak paling rentan.
“Pemerintah provinsi jangan terburu-buru mengeluarkan rekomendasi. Banyak izin dikeluarkan tanpa kajian komprehensif yang mempertimbangkan keberlangsungan hidup masyarakat adat,” ujar Yohannes Akwan.
Ia menambahkan bahwa praktik seperti ini bisa memicu tumpang tindih lahan, konflik komunitas, hingga pelanggaran HAM berbasis Ekosob.
Peran Bupati Krusial untuk Mencegah Pelanggaran Ekosob
Selain gubernur dan pemerintah provinsi, Yohannes Akwan menegaskan bahwa para bupati pun memiliki tanggung jawab besar. Mereka memegang kewenangan penuh terkait penggunaan ruang wilayah.
“Para bupati harus memastikan setiap keputusan pembangunan tidak merugikan masyarakat adat. Jangan sampai proyek investasi justru menjadi pintu masuk pelanggaran Ekosob,” tegasnya.
Menurut Akwan, banyak masalah di Papua bermula dari kebijakan kabupaten yang tidak sejalan dengan kondisi sosial masyarakat adat, terutama terkait perizinan hutan, perkebunan, dan tambang.
Kasus Terkini Papua: Ekspansi Industri dan Konflik Lahan
Situasi Papua belakangan memperkuat pernyataan Akwan. Data pemantauan Komnas HAM RI menunjukkan bahwa dalam tahun 2025 saja terdapat sekitar 60 dugaan pelanggaran HAM di Papua, di mana sebagian besar terkait konflik tanah, kerusakan lingkungan, dan hak masyarakat adat.
Salah satu kasus yang mencuat adalah pertambangan nikel di Raja Ampat, yang oleh lembaga pengawas lingkungan disebut sebagai bagian dari 22 dugaan pelanggaran Ekosob karena merusak kawasan ekologis dan mengecualikan partisipasi masyarakat adat dalam proses izin.
Kasus lain terjadi pada Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, yang dituding mengabaikan hak atas tanah ulayat serta mengancam identitas budaya suku-suku di wilayah itu.
Isu-isu tersebut memperjelas bahwa persoalan perizinan tidak bisa dianggap sepele—apa yang terjadi di satu kabupaten dapat menimbulkan dampak regional yang meluas.
Desakan untuk Reformasi Tata Kelola Perizinan
Melihat maraknya kasus, Yohannes Akwan mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan, khususnya yang melibatkan wilayah adat.
“Ini alarm penting. Jika tata kelola perizinan tidak dibenahi, pelanggaran terhadap hak dasar masyarakat adat akan terus berulang.”
Akwan juga meminta adanya mekanisme kontrol yang lebih ketat dan partisipasi masyarakat adat sebagai syarat wajib setiap kebijakan pembangunan.
Perlindungan Hak Masyarakat Adat Harus Jadi Prioritas
Dengan meningkatnya ancaman terhadap tanah ulayat, budaya, dan penghidupan masyarakat adat, para pemerhati HAM menegaskan bahwa Ekosob di Papua bukan lagi sekadar isu minor—tetapi sebuah krisis yang dapat menghancurkan masa depan generasi adat Papua.
Mereka mendesak pemerintah agar benar-benar menghormati prinsip HAM dan berhenti melihat tanah Papua semata-mata sebagai ruang ekonomi.
Sumber:
- Komnas HAM RI: Pemantauan 60 dugaan pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2025 — Antara Papua
- Kompas: Kasus pertambangan nikel di Raja Ampat sebagai dugaan pelanggaran Ekosob
- Kompas Properti: Sorotan terhadap PSN Merauke dan potensi pelanggaran hak masyarakat adat
- PapuaLink: Pernyataan Komnas HAM terkait meningkatnya laporan pelanggaran HAM di Papua



