Manokwari — Kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua kembali menjadi sorotan publik seiring isu keamanan, pemekaran wilayah, hingga evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus. Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, Yohanes Akwan S.H., M.A.P, menilai bahwa pola kebijakan negara terhadap Papua telah berubah dari masa ke masa, namun tetap mengusung satu tujuan utama: integrasi nasional dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Dalam penjelasannya di Manokwari, Akwan menyebut perjalanan kebijakan itu sudah berlangsung sejak era Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, hingga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini.
“Kalau kita melihat sejarahnya secara utuh, setiap presiden memiliki pendekatan berbeda dalam membangun Papua. Tapi garis merahnya tetap sama, yaitu menjaga Papua dalam bingkai NKRI dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Akwan, Kamis (20/11/2025).
Era Soekarno: Integrasi dan Pengakuan Kekhususan
Akwan menjelaskan bahwa era Soekarno menjadi titik awal integrasi Papua melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) tahun 1961. Pada masa itu, pemerintah pusat juga menerapkan kebijakan ekonomi khusus bagi Irian Barat, termasuk penggunaan mata uang sendiri, Rupiah Irian Barat. Menurut Akwan, hal ini menunjukkan bahwa konsep kekhususan Papua sebenarnya sudah muncul jauh sebelum lahirnya Otonomi Khusus.
Era Soeharto hingga Reformasi: Sentralisasi, Kritik, dan Awal Pemekaran
Memasuki pemerintahan Soeharto, kebijakan Papua lebih menonjolkan pembangunan infrastruktur dan integrasi nasional, meski pendekatannya sering dinilai terlalu sentralistik. Kesan militeristik pada periode ini meninggalkan rasa ketidakadilan bagi sebagian masyarakat Papua.
Situasi berubah pada era B.J. Habibie. Pemerintah membuka ruang demokrasi dan menerbitkan UU Nomor 45 Tahun 1999 sebagai dasar pemekaran wilayah Papua. Namun dari kebijakan itu, hanya Papua Barat yang benar-benar terwujud, sementara daerah lain baru dimekarkan pada era Presiden Jokowi.
Gus Dur dan Megawati: Penguatan Identitas dan Lahirnya Otonomi Khusus
Akwan menilai Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh yang memberi ruang besar bagi identitas budaya Papua. Di masanya, pemerintah mengembalikan nama Papua dan membuka ruang dialog yang lebih damai.
Tonggak besar berikutnya hadir di era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-undang inilah yang menjadi kerangka utama hubungan pusat dan Papua hingga hari ini.
SBY hingga Jokowi: Percepatan Pembangunan dan Pemekaran Provinsi
Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai langkah penguatan pembangunan di wilayah timur Indonesia.
Sementara di era Presiden Joko Widodo, pembangunan Papua menekankan konektivitas, infrastruktur, dan ekonomi rakyat. Jokowi juga memperluas kebijakan pemekaran wilayah melalui pembentukan enam provinsi baru di Tanah Papua guna mendekatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan.
Era Prabowo: Stabilitas, Pemerataan, dan Penguatan Masyarakat Adat
Menurut Akwan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melanjutkan kebijakan afirmatif terhadap Papua dengan fokus pada stabilitas keamanan, pemerataan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
“Saat ini masyarakat Papua berada pada momentum penting. Pemerintah menempatkan keamanan dan kesejahteraan sebagai prioritas, tetapi kebijakan tersebut tetap harus memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat,” ujar Akwan.
Perjalanan Panjang Kebijakan Papua yang Terus Berlanjut
Akwan menegaskan bahwa kebijakan Papua bukan hanya soal politik, tetapi juga soal identitas, keadilan, dan keberlanjutan pembangunan.
“Papua bukan sekadar wilayah di peta Indonesia. Papua adalah bagian dari jiwa Indonesia. Perjalanan kebijakan dari Soekarno hingga Prabowo menunjukkan bahwa negara terus mencari formula terbaik bagi Papua, meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan,” tutupnya.



