Bintuni, Papua Barat — Kematian seorang warga binaan, Tonny Boy Dimara, pada 16 November 2025 di RSUD Teluk Bintuni memunculkan tanda tanya serius mengenai standar layanan kesehatan di lingkungan Rutan Bintuni. Hingga kini, belum ada penjelasan rinci dari pihak pemasyarakatan mengenai kondisi Tonny sebelum dirujuk, langkah medis yang diambil, ataupun kronologi lengkap saat ia masih berada dalam tahanan.
Secara administratif, RSUD Teluk Bintuni menerbitkan Surat Keterangan Kematian yang mencantumkan penyebab kematian sebagai cardiorespiratory failure, atau gagal jantung. Namun, analisis terhadap dokumen tersebut menunjukkan bahwa keterangan medis masih sangat terbatas. Tidak ada informasi mengenai diagnosis penyerta, hasil pemeriksaan laboratorium, riwayat penanganan awal, maupun tindakan medis yang diberikan sebelum almarhum dinyatakan meninggal.
Minimnya rincian inilah yang dipertanyakan oleh pihak keluarga dan YLBH Sisar Matiti, selaku kuasa hukum. Mereka menganggap informasi yang tersedia saat ini belum cukup memenuhi prinsip transparansi, terutama karena Tonny meninggal dalam status sebagai warga negara yang hak kesehatannya berada sepenuhnya dalam tanggung jawab negara melalui lembaga pemasyarakatan.
Dari keterangan keluarga, Tonny dilaporkan sakit saat masih berada di dalam rutan. Ia kemudian dirujuk ke RSUD Teluk Bintuni oleh pihak rutan untuk mendapatkan perawatan. Namun, kondisi Tonny dilaporkan semakin memburuk hingga akhirnya meninggal. Keluarga menyampaikan adanya dugaan bahwa pertolongan pertama dan penanganan medis di tingkat rutan tidak dilakukan secara memadai, meski belum ada klarifikasi resmi dari otoritas pemasyarakatan.
Dalam konteks hukum, kematian warga binaan merupakan peristiwa yang memerlukan penelusuran prosedur, penanganan medis, dan rantai pengawasan untuk memastikan tidak ada unsur kelalaian, pelanggaran prosedur, atau pembiaran yang berkontribusi pada meninggalnya seseorang di bawah penguasaan negara.
Menyikapi situasi tersebut, YLBH Sisar Matiti mendesak Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat, jajaran pemasyarakatan, serta unit pengawasan HAM untuk segera membentuk tim investigasi resmi. Tim tersebut diharapkan dapat mengakses seluruh dokumen medis, catatan kesehatan di rutan, rekam rujukan, kronologi tindakan, hingga hasil pemeriksaan terakhir di rumah sakit.
“Kematian warga binaan adalah peristiwa serius yang tidak boleh dibiarkan tanpa kejelasan. Negara wajib memastikan bahwa setiap warga binaan menerima perawatan medis sesuai standar. Kami meminta investigasi menyeluruh, independen, dan transparan untuk memastikan tidak ada hak warga binaan yang dilanggar,” ujar Yohanes Akwan, S.H, Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti.
YLBH Sisar Matiti juga mendorong agar Menteri Hukum dan HAM RI mengambil peran aktif mengawasi proses investigasi, mengingat posisi almarhum sebagai warga binaan yang berada sepenuhnya dalam penguasaan institusi negara.



