“Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tak berdaya.”
Mohammad Hatta
Papua sempat kembali bergejolak pasca insiden rasialisme dan penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya pada tahun 2019 lalu yang dituduh mematahkan tiang bendera Indonesia. Peristiwa ini telah membangkitkan kembali demonstrasi massa di kota-kota seperti Jayapura, Manokwari, Sorong dan lainnya untuk menuntut ditegakkannya hukum bagi aparat dan ormas sipil yang melakukan diskriminasi dan ujaran rasialisme sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.Selain itu, tuntutan mengenai hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bagi warga Papua terutama Orang Asli Papua (OAP) turut kembali muncul dan dapat menggerakkan aksi massa yang besar hingga melahirkan tindakan represi dan intimidasi oleh aparat terhadap warga Papua. Jelas tuntutan hak menentukan nasib sendiri merupakan konsekuensi dari upaya sistematik eksploitasi dan penindasan bangsa Papua oleh Indonesia. Tuntutan hak menentukan nasib sendiri secara teori muncul ketika ada relasi kolonial yang dominan antara suatu warga dengan negara atau antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Gagasan nasionalisme turut menjadi sebuah kekuatan filsafat politik yang mendorong adanya hak menentukan nasib sendiri bagi sebuah bangsa yang ingin merdeka dari relasi penjajahan. Nasionalisme di satu sisi dapat menjadi sebuah gagasan revolusioner progresif dalam payung pembebasan nasional dari kaum imperialis, namun di sisi lainnya ketika nasionalisme, rasa kebangsaan tidak dilandasi rasa kemanusiaan dan semangat internasionalisme universal justru akan melahirkan gagasan nasionalis yang chauvinistik dengan karakteristik yang militeristik, dan otoritarian serta memiliki logika menundukan kebebasan individu dan kelompok lainnya.
Tulisan ini adalah refleksi atas kondisi nasionalisme di Indonesia dan juga kemunculan nasionalisme di Papua serta untuk menjelaskan dan memberikan alternatif gagasan untuk permasalahan Papua. Sebaiknya institusi kuasa alternatif dibangun untuk dapat mengekspresikan hak-hak dasar warga Papua secara menyeluruh dan memperkuat institusi lokal demokrasi politik dan institusi ekonomi lokal di Papua yang dapat menciptakan kesejahteraan dan menjamin penegakan hak asasi manusia di Papua dalam kerangka Republik Indonesia. Institusi yang harus didorong melalui kekuatan politik masyarakat sipil secara langsung ini sangat penting untuk melawan kekuasaan negara yang justru melahirkan kebijakan sistemik yang meminggirkan warga Papua, sentralisasi wewenang pusat, merusak lingkungan hidup dan mencaplok sumber daya alam disana. Tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah membahas sejarah dari nasionalisme Papua dan Indonesia dan pada bagian kedua merupakan sebuah pandangan pribadi penulis mengenai gerakan emansipatoris apa yang seharusnya dibentuk demi adanya transformasi ekonomi, sosial, politik dan budaya disana tanpa harus terbentur dengan perdebatan isu gerakan yang menginginkan kemerdekaan ataupun tetap dalam kerangka Republik Indonesia. Tujuan dari politik yang substansial jika merujuk kepada filsafat Politik Aristotelian adalah untuk menciptakan eudaimonia kebahagiaan atau perkembangan kesejahteraan manusia dengan adanya partisipasi dari warga secara langsun dalam mengelola urusan komunitas mereka sendiri.
Nasionalisme Indonesia
Dalam sejarahnya, nasionalisme Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan semangat pembebasan nasional dan revolusi sosial yang ingin merdeka dan bebas darikapitalisme kolonial Belanda. Karakteristik ini seperti yang dijelaskan oleh para pendiri bangsa dan dimanifestasikan dalam Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 merupakan sebuah fondasi bagi negara-bangsa Indonesia yang memiliki ikatan sejarah dan persamaan nasib ditindas oleh kolonial Belanda bertekad ingin
membentuk sebuah negara yang bebas, adil dan makmur. Nasionalisme Indonesia seperti yang dijelaskan oleh Soekarno dan Hatta adalah nasionalisme yang
humanis. Hatta menekankan bahwa semangat membangun bangsa secara kolektif didasari semangat gotong royong dan kekeluargaan, tidak boleh bertentangan dengan perlindungan atau jaminan dari hak-hak individu (hak asasi manusia) dan pemenuhan kesejahteraan sosial bagi semua (cooperative commonwealth).
Negara Indonesia yang merdeka harus menjadi negara pengurus seperti yang dijelaskan oleh Hatta bukan negara kekuasaan yang meniadakan jaminan perlindungan hak asasi individu. Nasionalisme Indonesia dalam imaji Hatta harus dapat mempererat kesatuan bangsa tanpa meniadakan kebhinekaannya. Tidak menjadi persatuan yang dipaksakan atau dalam bahasa Hatta adalah “persatean”. Persatuan dari Indonesia yang multikultural ini hanya dapat dijamin oleh sebuah kehidupan demokratis dan menjalankan pemerintahan administratif yang mendorong desentralisasi atau otonomi luas dalam bentuk federalisme. Bahkan dalam bentuk federalisme yang menjamin kedaulatan rakyat dan kebebasan setiap suku bangsa/adat seluruh warga Indonesia.
Nasionalisme Indonesia pada awal mula pembentukan negara-bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme predatoris yang militeristik dan fasistik. Semangat demokrasi, menjunjung hak asasi manusia dan federalis atau devolusi seperti di pemikiran Hatta dan Tan Malaka yang menolak sentralisasi di tangan pemerintahan pusat dan negara serta menekankan terhadap kedaulatan, dan kesejahteraan massa-rakyat atau kaum Murba. Namun dalam perkembangan pemikiran nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa Indonesia sejak Orde Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, berubah memasuki fase sentralisasi dan kehidupan demokrasi dibekukan.
Kebijaksanaan yang dilahirkan pemerintah sangat otoriter. Puncak dari nasionalisme Indonesia yang sifatnya predatoris dapat dilihat pada masa Orde Baru yang sangat fasistik dan militeristik. Kebebasan sipil dan politik, kebebasan untuk berekspresi dan bahkan kebebasan ekonomi, sosial dan budaya bagi warga sangat ditekan. Walaupun terdapat kebangkitan kelas menengah Indonesia pada masa Orde Baru tetapi kemiskinan dan ketimpangan Indonesia justru semakin melebar. Privatisasi dan monopoli kapital oleh kaum kapitalis terutama kapitalis oligarki Cendana telah menciptakan sistem ekonomi-politik yang meminggirkan massa rakyat.
Selain itu, masyarakat sipil ditekan dan didominasi oleh birokrasi dan militer negara. Kehidupan demokrasi stagnan. Pada masa ini walaupun terdapat klaim pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi yang meningkat tetapi justru melahirkan ketidakberdayaan dan pemiskinan sistemik bagi sebagian warga. Dalam ranah sosial-budaya, Orde Baru menghomogenisasi identitas kebangsaan Indonesia serta menekan kelompok minoritas. Pancasila dan ideal kesatuan (unitaris) menjadi alat politik bagi rezim Orde Baru Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan oligarkinya dan menundukan serta menghisap secara besar-besaran hasil kekayaan dari setiap daerah ke pusat. Alhasil persatuan yang tercipta adalah persatuan yang diseragamkan (uniformitas).
Sentralisasi Orde Baru melahirkan ketimpangan antar daerah dan pemiskinan sebagian rakyat. Masyarakat adat sebagai pewaris resmi atas kekayaan alam dimarjinalisasikan dan massa-rakyat mengalami ketidakberdayaan dan ketergantungan yang besar terhadap pemerintahan pusat dan negara secara keseluruhan. Praktik represi, intimidasi dan teror dilakukan oleh negara terhadap suara-suara perlawanan sipil dan suara kritis alternatif sehingga mematikan kehidupan demokrasi di Indonesia. Kontrol dilaksanakan untuk menciptakan massa mengambang sehingga warga menjadi pasif secara politis, tergantung secara ekonomi terhadap kapital dan negara serta tumpul daya kritisnya. Dalam kasus Papua, selama Orde Baru bahkan hingga era reformasi saat ini, marjinalisasi terhadap aspirasi identitas dan kemampuan keberdayaan mereka untuk mengelola wilayahnya sendiri masih terjadi. Pendekatan keamanan yang terlihat pada masa Orde Baru seperti adanya daerah operasi militer (DOM) untuk menguasai dan menundukan tuntutan menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan menjadi sebuah negara-bangsa sendiri melahirkan siklus kekerasan yang berkelanjutan dan sistemik meminggirkan serta mempraktikkan kebijakan yang rasialis dan pemiskinan secara ekonomi terhadap orang asli Papua.
Nasionalisme Papua
Nasionalisme Papua berfokus kepada tuntutan untuk menciptakan negara-bangsa sendiri atau kemerdekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada dua periode kebangkitan nasionalisme Papua seperti dijelaskan oleh Frans Pekey dalam karyanya Papua Mencari Jalan Perdamaian, yaitu masa ketika perjuangan identitas di bawah kolonial Belanda dan Indonesia. Bagi orang Papua, mereka telah berdaulat menjadi sebuah bangsa dan negara pada tanggal 1 Desember tahun 1961 ketika pertama kali bendera bintang kejora mulai berkibar. Walaupun masih berada dalam kekuasaan kontrol kolonialisme Belanda dalam persemakmuranya. Mereka dijanjikan akan merdeka di tahun 1970.Nasionalisme Papua atau Papuanisasi adalah suatu ide, upaya dan siasat untuk mengembalikan kedaulatan atau kemerdekaan ekonomi, politik, sosial dan budaya serta agama kepada orang Papua sendiri sebagai subjek mandiri. Papuanisasi ini muncul sebagai reaksi atas interaksi kebudayaan non-Papua yang terus berlangsung, baik dengan paksaan ataupun sukarela telah menyebabkan orang asli Papua tercerabut dari akar-akar kebudayaannya sendiri.
Di bawah kolonialisme Belanda, konstruksi identitas sejarah dan kultural masyarakat Papua dilihat melalui diskursus orang Belanda, sedangkan pasca penyerahan wilayah Papua ke pemerintahan Indonesia, konstruksi identitasnya pun turut berubah dengan menggunakan diskursus Indo-Melayu untuk melihat kemampuan dan sejarah orang asli Papua. Dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan sejarah politik, ekonomi, sosial dan budaya orang Papua tidak memiliki konstruksi identitas mereka sendiri karena selalu berada dalam relasi yang timpang dalam kekuasaan di mana mereka selalu menjadi objek yang harus ditundukan.
Karena itu, ide Nasionalisme Papua muncul untuk memperjuangkan dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas penduduk orang asli Papua dan mempersiapkan basis untuk menciptakan sebuah negara-bangsa Papua. Ideologi nasionalisme Papua muncul pada tahun 1940an. Berkembang dengan dipengaruhi oleh kontak dengan orang Non-Papua, yaitu Belanda melalui aktivitas pendidikan sekolah Pamong Praja dengan tokohnya Izak Samuel Kejne dan Van Echoud yang sangat berperan membangkitkan kesadaran orang Papua membangun daerah mereka sendiri melalui pendidikan.
Melalui Indonesia, rasa nasionalisme itu muncul akibat Soegoro Atmoprasodjo, seorang eks-Digulis guru sekolah Pamong Praja yang menanamkan nasionalisme Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda tetapi gagal. Tetapi apa yang diajarkan Soegoro turut membentuk elit-elit Papua seperti Corinus Krey, Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkoren, Lisias Rumbiak, dan Frans Kaisiepo. Dikotomi yang terbentuk pada akhirnya Nasionalisme Papua pada masa awal terbagi antara mereka yang lebih pro ke Belanda karena dijanjikan merdeka dan juga Pro-Indonesia. Ada tokoh-tokoh didikan Belanda seperti Johan Ariks yang menginginkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua tanpa campur tangan Belanda dan juga Indonesia, dan Nicholas Youwe pendiri OPM yang menginginkan adanya kemandirian bagi bangsa Papua sendiri untuk menentukan masa depannya.
Sebelumnya, beberapa elit intelektual Papua memang menginginkan posisi kesetaraan di dalam Indonesia, hal ini tertulis dalam surat protes tokoh seperti Corinus Krey, Marthen Indey dan Nicolaas Youwe kepada Belanda pada 13 Desember 1946 menanggapi perjanjian Linggarjati. Di mana protesnya adalah Papua harus dimasukan ke dalam Federasi Indonesia, menekan agar orang Papua diajak berunding dalam konferensi Denpasar, dan selama Papua menjadi koloni Belanda maka hak orang Papua dalam pemilihan, berpendapat dan mengajukan pokok pikiran untuk masa depan Papua akan sangat dibatasi. Tetapi pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, terdapat perpecahan yang menimbulkan kelompok Pro-Belanda dan Indonesia. Perpecahan ini menyangkut juga penentuan status politik Papua antara mereka yang pro-integrasi dengan yang menginginkan kemerdekaan seperti yang dijanjikan Belanda.
Nasionalisme semakin bertumbuh dan berkembang hingga tahun 1961 di mana terdapat pelembagaan politik melalui pembentukan partai politik seperti partai Nasional oleh Frits Kihirio, Partai Democratische Volkspartij oleh Arnold Runtuboy, Partai Orang Nieuw Guinea oleh Johan Ariks, Partai Serikat Pemoeda Pemoedi Papoea oleh Esau Itaar, Partai Sama-Sama Manusia oleh Husein Warwey, dan Partai Persatuan Christen Islam oleh Moh.Nut Majalibit. Kebijakan Belanda lainnya adalah membentuk lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi politik orang Papua, yaitu Dewan Nieuw Guinea yang bertujuan untuk membangun kesadaran akan identitas dan solidaritas masyarakat Papua serta untuk merancang pembangunan Papua. Kehadiran dewan ini memperkuat semangat nasionalisme Papua dikalangan elit Papua dan masyarakatnya agar mempersiapkan proses kemerdekaan bangsa Papua.
Pada Oktober 1961 Dewan Nieuw Guinea menghasilkan sebuah Manifesto Politik yang berisi Nieuw Guinea diberi nama Papua Barat, penduduknya disebut rakyat Papua, bendera negara yang dipilih adalah Bintang Kejora, dan lagu kebangsaan adalah Hai Tanahku Papua. Pada 1 Desember 1961, berlangsunglah perayaan untuk mengganti nama menjadi Papua Barat dan pengibaran bendera Papua beserta Belanda dengan diiringi oleh lagu kebangsaan mereka. Momen ini menjadi penanda mulai adanya kesadaran untuk semakin memperteguh hak penentuan nasib sendiri oleh orang Papua. Nasionalisme Papua dengan ini semakin menumbuh dengan setiap orang Papua mulai sadar identitasnya sebagai sebuah bangsa sendiri.
Harapan Yang Pupus
Namun harapan kemerdekaan untuk memiliki negara-bangsa dan memiliki pemerintahan sendiri kandas pada tahun 1962 setelah perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia dimana akhirnya otoritas atas wilayah Papua diberikan kepada Indonesia. Sejak tahun 1945 hingga 1949 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar, wilayah Papua telah menjadi objek sengketa karena menurut Indonesia, wilayah Papua merupakan wilayah kedaulatan Indonesia juga karena senasib dijajah oleh administratif kolonial Belanda dan secara sejarah Papua termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit, setidaknya ini argumen yang dipegang teguh oleh Soekarno dan Yamin pada saat pembahasan wilayah Indonesia dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945.
Hatta di lain pihak menunda usaha untuk memasukan Papua ke dalam wilayah Indonesia, diakibatkan karena secara kultural dan antropologis Papua adalah etnik Melanesia, berbeda dari Indonesia yang dominan Melayu. Alasan Belanda menolak untuk memberikan Papua adalah karena faktor geopolitik kepentingan imperial mereka yang sudah meredup dan membutuhkan wilayah Papua sebagai basis bagi militer Belanda di Asia Tenggara. Namun di tahun 1962 akhirnya Belanda memberikan wilayah Papua ke Indonesia yang sementara pemerintahan transisi disana dilaksanakan dibawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Pada tahun 1969, dilaksanakanlah Penentuan Pendapat Rakyat (act of free choice) di mana Papua menurut pandangan Indonesia secara legal menjadi bagian dari Provinsi di Indonesia. Namun penentuan pendapat ini berada dalam suasana intimidatif dan bahkan manipulative, di mana warga asli Papua berada dalam tekanan militer untuk bergabung dengan Indonesia dan tidak semua warga terwakili untuk ikut menentukan suara tersebut. Selama masa Orde Baru, wilayah Papua dieksploitasi oleh pemerintahan pusat dan segala aspirasi serta penentangan terhadap pemerintahan otoriter Soeharto dihadapi dengan pendekatan keamanan militeristik yang dianggap sebagai upaya separatisme dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini melahirkan beragam praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia dan secara identitas Orang Asli Papua dikerdilkan dari kebudayaannya dan tanahnya sendiri.
Pada era reformasi hingga saat ini, pendekatan terhadap warga Papua belum sepenuhnya berubah. Implementasi Otsus Papua 2001 yang tujuannya adalah untuk mengembalikan harkat dan martabat warga Papua ternyata tidak efektif dijalankan. Intervensi pemerintahan pusat masih sangat besar dan kemiskinan serta marjinalisasi masih menjadi permasalahan bagi OAP. Selain itu, permasalahan HAM yang menjadi mandat dari Otsus juga belum diselesaikan dan justru selama era reformasi pelanggaran HAM tetap berlanjut dimulai dari peristiwa Wasior berdarah hingga saat ini penembakan-penembakan yang menewaskan warga Papua seperti di Nduga dan Deiyai. Melawan kelompok kriminal bersenjata dijadikan dalih oleh pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan operasi militer dan memberangus kebebasan sipil dan politik di Papua. Penutupan akses informasi dan kontrol akses jurnalis di Papua hingga proses bandwith throttling dan internet shutdown menjadi alat politik bagi rezim saat ini untuk mengendalikan wacana yang beredar dalam masyarakat agar selaras dan searah dengan kekuasaan yang sedang berlangsung.
Dari segi bentuk otonomi pemerintahan, dapat dibentuk Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Majelis Rakyat Papua rencananya menjadi lembaga perwakilan kultural adat di Papua yang menaungi masyarakat adat di Papua, namun lembaga tersebut tidak terlalu signifikan dalam memberdayakan masyarakat asli Papua dan tidak berdaulat karena tidak memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan terkait masalah pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam mereka. Padahal lembaga tersebut dapat menjadi suar untuk mengarahkan bentuk pemerintahan lokal yang mewakili kepentingan orang asli Papua bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua tetapi kenyataanya mereka gagal dalam mengatur wilayahnya sendiri secara mandiri karena intervensi pemerintahan pusat yang menghendaki kontrol sumber daya alam dan urusan administratif pemerintahan lokal. Selain itu otonomi yang terbentuk hanya bersifat administratif prosedural tanpa menyentuh akar permasalahan adanya ketimpangan kuasa politik dan ekonomi di Papua. Otonomi hanya akan berhasil jika adanya demokratisasi kekuasaan politik yang membuka ruang bagi gerakan sosial atau massa (civil society) untuk ikut dalam mengambil keputusan dan menciptakan kekuasaan ganda yang dapat mengimbangi pemerintahan pusat dan negara secara lebih luas dan juga adanya demokratisasi distribusi kekayaan yang lebih egaliter dengan diperkuatnya ekonomi kerakyatan berbasis kepemilikan publik atau koperasi-koperasi yang saling berkonfederasi satu sama lainya.
Dapat dikatakan Otonomi Khusus Papua yang dirancang masih belum sepenuhnya dapat membangun kedaulatan rakyat Papua dan memperkuat institusi demokrasi dan ekonomi lokal di Papua. Terlebih kehidupan politik di sana masih berada dalam bayang-bayang dominasi pemerintahan pusat, aparatur koersifnya yang menjaga stabilitas dan distribusi wacana apa yang boleh beredar dengan praktik yang cenderung otoriter. Karena itu otonomi khusus belum dapat menyelesaikan permasalahan sistemik kemiskinan dan akar permasalahan seperti yang dijelaskan LIPI dalam Papua Road Map. LIPI memetakan ada empat masalah di Papua yaitu: pertama, sejarah dan status integrasi Papua ke Indonesia; kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang nyaris nol penyelesaian; ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua; dan keempat, kegagalan pembangunan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi rakyat di tanah Papua.
Persepsi warga Papua saat ini mulai memunculkan nasionalisme kembali dengan pelurusan sejarah. Kesadaran untuk menentukan nasib sendiri semakin menguat dengan landasan untuk mengakui bahwa sejarah integrasi bangsa Papua ke Indonesia sangat bermasalah. Dalam Kongres kedua Papua yang diselenggarakan oleh gerakan nasionalis Papua, Presidium Dewan Papua (PDP) di tahun 2000 mengadopsi resolusi bahwa: pertama, semenjak 1 Desember 1961 Papua telah resmi menjadi bangsa dan negara yang berdaulat; kedua, penolakan perjanjian New York karena tidak mengundang dan mengajak perwakilan dari rakyat Papua; dan ketiga, menolak Pepera karena tidak berlandaskan asas demokratis one-man-one-vote dan konsensus yang tanpa paksaan intimidasi, pembunuhan politik, dan kekerasan militer. Ketiga keputusan tersebut berdasarkan analisis kesejarahan dalam kerangka upaya untuk meluruskan sejarah dan mengemansipasi warga asli Papua sehingga memunculkan kembali kesadaran Nasionalisme Papua.